Minggu, 27 Desember 2009

IPTEK

Sains, dan Pendidikan China Vs Kita
Ary Mochtar Pedju
Kompas, Kamis 24 November 2005



”Since 1978, China has been the world's most successful economy…. The engines of growth are still running strong…. The basic reason for the growth is specifically adopting the technologies of the leading innovating countries” (Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 2005).

Pada dasarnya Sachs kagum dengan pembangunan di China yang dalam 20 tahun dapat mengurangi kemiskinan penduduknya lebih dari satu miliar, dari 64 persen (1981) menjadi 17 persen (2001).

Peran terpenting proses itu adalah pemanfaatan teknologi. Sachs ingin mengatakan, pembangunan di China berbasis sains dan teknologi. Meski slogan (partai) politik "berbanjar menuju sains" telah dikumandangkan lama, gong terpenting adalah ucapan politik Deng Xiaoping 1978, "bila China ingin memodernisasikan pertanian, industri, dan pertahanan, maka yang harus dimodernisasikan lebih dulu adalah sains dan teknologi dan menjadikannya kekuatan produktif!" (Ke Yan, Science and Technology in China, 2004).

SEZ

Sudah amat banyak dibahas tentang keajaiban dan kecepatan pembangunan China melalui proyek raksasa Special Economic Zones (SEZ) sepanjang pesisir timur China, dari selatan hingga utara sekaligus melambangkan reformasi dan keterbukaan China. Namun, yang tidak pernah disorot adalah bagaimana peran sains dan teknologi dalam investasi raksasa itu dimanfaatkan untuk mencerdaskan bangsa China sebagai kunci filsafat social market economy mereka. China memasukkan sains, teknologi, dan pendidikan ke grand design pembangunan nasionalnya. Mereka harus mencapai keadaan, menurut Ke Yan, economic construction must rely on science and technology, the scientific and technological work must serve economic construction….

Dalam bukunya, Sachs mengingatkan, untuk memfungsikan ekonomi dengan baik, diperlukan enam modal dasar dalam satu paket, yakni infrastruktur, human capital, knowledge capital, business capital, natural capital, dan public institutional capital, yang semuanya mengandung unsur sains dan teknologi di dalamnya.

Konstruksi Sosial

Bagaimana mewujudkan gagasan-gagasan itu? Ke Yan menginformasikan, sejak 1990-an Pemerintah China mengimplementasikan pentingnya "peremajaan dan revitalisasi negara melalui pengetahuan dan pendidikan".

Pengetahuan dan pendidikan menjadi motor penggerak primer berbagai tujuan, yaitu pengembangan ekonomi dan masyarakat, mengalihkan fokus pengembangan ekonomi agar bergantung pada kemajuan sains dan teknologi, meningkatkan kompetensi tenaga kerja, dan yang terpenting menciptakan kultur baru berbasis pengetahuan. Tugas berat ini dibebankan ke pundak Menteri Kebudayaan China. (Bandingkan dengan tugas Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita). Singkat kata, tanggung jawab dan tugas utama adalah "memopulerkan sains dan teknologi ke seluruh penjuru China".

Untuk menciptakan konstruksi sosial baru ini, praktis seluruh kelompok sosial harus dilibatkan, baik institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah maupun —dan terutama— berbagai lembaga masyarakat, seperti kalangan media (koran, jurnal ilmiah/profesional, buku berbagai pengetahuan, televisi, internet), berbagai komunitas kota, dunia usaha, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan tentunya masyarakat sains dan teknologi sendiri.

Undang-undang Tekad China menciptakan scientific culture diperkuat lahirnya undang- undang satu-satunya di dunia pada tahun 2002, "Science and Technology Popularization Law of the People's Republic of China".

Menteri Kebudayaan yang bertanggung jawab untuk itu mengoordinasikan menteri- menteri sains dan teknologi, pendidikan, serta kesehatan dan pertanian. Berbagai organisasi yang dilibatkan antara lain Asosiasi Sains dan Teknologi China, Akademi Ilmu Pengetahuan China, Asosiasi Wanita China, dan berbagai organisasi yang menjangkau kaum remaja China.

China tampaknya mengikuti pola evolusi/revolusi yang telah banyak ditulis para ahli sejarah, filsafat, sosiologi, sains dan teknologi dunia, di mana sejak akhir renaisans 500-an tahun lalu dunia mengalami revolusi sains lebih dulu, disusul revolusi teknologi- industri, lalu revolusi ekonomi. Kini, ke empat unsur ini telah kait- mengait tanpa sambungan (seamless).

India

Dalam bukunya, Jeffrey Sachs juga menulis kekagumannya tentang India, negara raksasa yang juga miskin, tiba-tiba meledak dalam ekonomi dunia dalam 15 tahun terakhir dengan pembangunan ekonominya yang mengandalkan teknologi tinggi, teknologi informasi (IT-based). Investasi utama India adalah pada pendidikan tinggi, saat mendirikan institut-institut teknologi sekitar 50-an tahun lalu. Langkah India saat itu dicemooh para ahli pembangunan. Mereka skeptis atas pilihan India, yang akhirnya menetapkan teknologi canggih sebagai strategi membangun.

India, yang kini telah memiliki lembaga pendidikan tinggi kelas dunia, hanya dalam 10 tahun (1990-2001) berhasil mengurangi kemiskinan dari 42 persen menjadi 35 persen.

Meski India masih merasa ketinggalan dari China, mereka berhasil mengembangkan home-grown technology, dan dengan cerdas memasukkannya ke dalam sistem ekonomi. Banyak yang dapat dipelajari dari keberhasilan China. Mereka telah bisa bertualang dengan teknologi baru dan tinggi. Oktober lalu mereka meluncurkan pesawat luar angkasa berawak, Shenzhou VI, yang mencengangkan dunia. Mereka dengan serius menaati tuntutan global tentang lingkungan hidup. Contoh, mereka mengklaim sebagai negara pertama yang berhasil menciptakan teknologi—batu bara—bersih untuk kebutuhan energi.

Menarik dipelajari bagaimana mereka membangun dengan bertumpu kecerdasan manusia, dan bagaimana mengelola kegiatan popularisasi sains serta menciptakan kultur baru. Namun, yang terpenting adalah bagaimana China berusaha melepaskan diri dari "perangkap kemiskinan" (poverty trap), yakni: karena tidak cerdas maka miskin, dan karena miskin tak mungkin cerdas.

Ary Mochtar Pedju
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), Depdiknas

Selasa, 03 November 2009

Indonesia dalam Politik Waktu

Dalam teori relativitas, waktu berbeda bagi setiap manusia. Dan dalam politik sebagai seni mengelola kehidupan banyak warga, waktu yang berbeda bagi setiap manusia itu harus dihadapkan, didialogkan, hingga dipertarungkan untuk menghasilkan titik temu.


Hari ini, tiap-tiap kelompok politik di negeri ini sedang mempertarungkan konsepsi waktunya. Di manakah kita pada masa lalu?

Di manakah posisi kita pada hari ini?

Ke mana kita harus melangkah?

Tiap-tiap kelompok mengajukan klaim kepada rakyat adalah zamannya yang membawa Indonesia bergerak maju seperti jarum jam. Mari kita simak pertarungan itu.

Dalam pikiran pihak penguasa, kita sedang berada tahun 5 D (atau 5 PD). Bagi mereka, lima tahun ini bermakna kemajuan Indonesia yang perlahan namun pasti. Dan mereka terus menyampaikan pesan ini dengan bukti dan klaim aneka terobosan perekonomian dalam sejarah, hingga belakangan ramai menyampaikan kebijakan menurunkan BBM tiga kali.

Kemudian, sebuah partai yang jamnya berhenti maju sejak 2004 — sebutlah, tahun 1 D — mengklaim sejak saat itu jarum jam Indonesia terus bergerak mundur. Sembako semakin mahal dan rakyat kian terjerat hidupnya. Mereka berjanji, bila rakyat merestui mereka memerintah, tahun 2009 jam Indonesia akan kembali bergerak maju, meneruskan zaman mereka yang pernah dimulai tahun 2001 dan sempat terhenti pada tahun ketiga.

Ada pula petarung yang implisit mengklaim tahun pertama Indonesia dimulai pada 1966. Samar-samar, mereka menuturkan, Indonesia bergerak maju, stabil, besar menjadi macan Asia sejak saat itu. Lantas, gerakan itu terhenti tahun 1998 dengan ditinggalkannya modus perekonomian yang melindungi rakyat seraya luruhnya orde besar yang menjaga mereka.

Bagi mereka, kini Indonesia telah masuk tahun 11 zaman kekacauan dan membutuhkan pemimpin besar serupa yang lalu.

Penguasa lalu mengajak rakyat untuk realistis. Bagi mereka, jam perubahan Indonesia harus bergerak dengan perlahan dan konstan sebagaimana konsepsi waktu mereka. Jangan terbuai mimpi revolusi, perubahan instan yang ditawarkan para kompetitor yang tidak realistis itu, ujarnya.

Indonesia sedang bergerak perlahan namun pasti menuju arah yang lebih baik, menurut mereka.

Para kompetitor membalas, benarkah Indonesia sedang melangkah ke arah lebih baik atau hanya delusi? Pertarungan memperebutkan waktu terus berlanjut.

Didefinisikan

Namun, bagi kita yang di luar pertarungan itu, aneka konsepsi waktu yang diajukan sama sekali absurd. Dengan sengaja mereka mengaburkan batasan antara kinerja mereka sendiri dan gerakan zaman yang merupakan akibat pergerakan ekonomi dan politik dunia.

Seperti saat pergerakan zaman menurunnya harga minyak dunia seakan pemerintah berjuang menurunkan BBM untuk mengangkat kehidupan rakyat. Dan seperti saat harga pangan dunia melesat naik karena ledakan kebutuhan dunia, petarung yang merupakan penguasa sebelumnya hanya mengingat-ingat harga pangan pada zamannya, bukan kebijakan pertanian yang pernah diletakkannya.

Namun, kita yang terus menggali kedangkalan klaim kelompok-kelompok politik itu akan segera menjumpai bahwa akar semuanya adalah sebuah kenyataan yang ironis: setiap zaman politik yang selama ini kita alami didefinisikan oleh kekuatan besar dari luar ”sana”.

Kehilangan waktu

Empat puluh dua tahun lalu, Richard Nixon sebagai Presiden AS dengan jelas mendefinisikan Indonesia: dengan 100 juta penduduk beserta jajaran pulau sepanjang 300 mil yang mengandung sumber daya alam paling kaya di kawasannya, Indonesia merupakan hadiah terbaik di Asia Tenggara. Indonesia adalah sebuah hadiah bagi kekuatan-kekuatan besar itu.

Stabilitas di masa lalu, perekonomian yang bertumbuh dahulu dan kini serta peristiwa-peristiwa lainnya yang membawa insentif dalam sejarah merupakan sedikit yang diberikan dunia dari keuntungan besar yang didapatkannya dengan memanfaatkan Indonesia. Lalu, konsepsi waktu yang ditawarkan tiap-tiap kelompok politik kepada rakyat hanyalah sepotong potret beku ke mana dunia membawa Indonesia pada masa mereka.

Itulah persoalannya. Di antara begitu banyak kehilangan yang dialami Indonesia sebagai negara, sebuah kehilangan yang amat menakutkan adalah kehilangan waktunya sendiri. Tak punya orientasi waktu, ia pun tak tahu sedang menjejak di mana dan mesti melangkah ke mana.

Sejarah dipotong-potong, lalu direkonstruksi sebagai makhluk tak berbentuk yang mendukung kepentingan pendek kekuasaan. Begitulah setiap periode kekuasaan menjadikan sejarah sebagai musuhnya untuk mengangkat rezimnya sebagai masa kini yang membimbing Indonesia ke masa depan yang cerah.

Dan pendidikan diperlakukan sebagai mesin pencetak, mereduksi siswa yang akan menulis masa depan sebagai sumber daya, obyek — dan bukan manusia.

Atau mungkinkah terlalu berlebihan untuk berharap agar negara ini tak menjadi daun yang hanyut di sungai atau batu yang tenggelam?

Agar cukup menjadi manusia yang mampu berenang dan menentukan arahnya?.

Selasa, 27 Oktober 2009

Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"

Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"

Oleh: Rikard Bagun

Ini salah satu artikel di Kompas
(Senin, 14/07/2008).

Quite interesting..let me know what u think.

Tidak gampang menemukan rumpun kaum intelektual Indonesia yang duduk gelisah karena tergetar oleh momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Benar-benar mati angin!

Gelora kegelisahan hanya bergerak sepoi-sepoi, tidak dapat diubah menjadi badai yang mampu memaksa kaum cerdik pandai duduk bersama, memandang dengan sorotan tajam masa depan bangsa, tanpa membiarkan sedikit pun mata terkedip bagi Indonesia yang lebih baik.

Resonansi atas kenyataan itu seakan bersahutan atau berbalas pantun dengan pertanyaan, mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkit meski begitu banyak sarjana, kaum cerdik pandai, kaum intelektual, dan ilmuwan?

Indonesia masih terus saja berada dalam pusaran krisis bawaan sejak tahun 1998, yang diperburuk oleh kondisi global yang sedang dikepung oleh krisis pangan, energi, dan pergolakan keuangan. Paling tidak 34,9 juta rakyat Indonesia hidup miskin.

Celah perubahan dan perbaikan akan semakin sulit ditemukan jika kaum intelektual Indonesia kehilangan sensitivitas menangkap panggilan sejarah untuk melancarkan secara serempak transformasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berjangkauan jauh ke depan.

Namun, siapakah yang pantas disebut kaum intelektual itu? Tidak ada rumusan baku, tetapi setiap orang yang melek huruf berpotensi menjadi intelektual, apalagi yang sudah sarjana.

Sudah menjadi kredo, kontribusi kaum intelektual bagi peradaban dan kemanusiaan dalam perjalanan panjang sejarah sangat menentukan sebagai keniscayaan, syarat mutlak, conditio sine qua non.

Namun, mengapa sulit sekali menemukan jejak kaum intelektual Indonesia, lebih-lebih setelah kemerdekaan.

Permainan waktu

Kelesuan itu terasa jelas pula dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum yang dikhawatirkan akan terancam hilang.

Gejala kedodoran itu terlihat dalam kerepotan menghadapi arus perubahan, yang sangat menuntut kecepatan, the survival of the fastest, yang bertahan yang paling cepat, ketimbang the survival of the fittest, yang bertahan yang paling kuat.

Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan: ”Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya”, tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langgang.

Ibarat burung malam minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indra penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman.

Hanya persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah di depan mata dan di bawah terang benderang matahari saja sering kali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan.

Kekuatan pencerahan

Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naif, dalam pengertian Paulo Freire.

Kaum intelektual tradisional lebih nyaman berada tinggi di menara gading ketimbang turun berkeringat dan berpikir keras tentang perubahan masyarakat.

Watak kaum intelektual sejati atau intelektual organik antara lain

Mampu menjaga kemandirian,

tidak mudah dikooptasi oleh kekuasaan, dan

kreatif sebagai manusia super bermental tuan, Übermensch,

dalam pengertian Friedrich Nietschze.

Ilmuwan biasa atau intelektual tradisional hanya mendaur ulang yang sudah ada, tetapi ilmuwan sejati justru menemukan yang ”belum ada”.

Namun, tantangan kaum intelektual sejati atau intelektual organik semakin berat. Tak sedikit sarjana atau ilmuwan yang terjerumus oleh godaan kekuasaan. Pemikir Perancis Julien Benda menyebut kaum intelektual yang tergoda masuk dalam politik praktis dan bermain dengan kepentingan kekuasaan sebagai pengkhianat.

Daya kritis kaum intelektual dilumpuhkan dan ditumpulkan dalam pasungan kepentingan kekuasaan dan penguasa. Padahal, kaum intelektual harus menjadi kekuatan antitesis kekuasaan. Selalu cemas agar bangunan kekuasaan tak sampai tumbuh mencakar langit atau menjadi makhluk dasar laut yang mengerikan seperti leviathan.

Namun, kiprah ilmuwan tidak mungkin berkembang dan optimal jika secara kultural tidak kondusif pula, yang membuat berbagai temuan penting kaum ilmuwan ditelantarkan.

Ruang bagi kaum intelektual berkiprah semakin terpasung jika penguasa maupun rakyat sama-sama melakoni budaya, lebih suka ngelmu ketimbang ilmu, lebih suka berpikir mistis ketimbang kritis.

Minggu, 27 September 2009

Menembus Pandang ke Tahun 2030

Oleh: Rikard Bagun, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas. 

Sosok tahun 2030, apalagi tahun 2050, belum tersingkap jelas, tetapi sejumlah negara tampak bergegas melakukan antisipasi. 

Ada apa dengan tahun 2030 atau tahun 2050? 

Dengan mengandalkan ketajaman imajinasi dan visi, perkembangan dan tingkat kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050 mulai diproyeksikan secara meyakinkan. Gambaran tentang perkembangan dan kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050 sebenarnya belum jelas. Makna angka 2030 atau 2050 secara matematis mungkin tidak terlalu penting lagi. Jauh lebih penting sebenarnya bagaimana bangsa-bangsa di dunia mulai mempersiapkan diri dalam menghadapi perkembangan satu generasi ke depan, yang diproyeksikan sampai tahun 2030. 

Imajinasi dan visi tentang perkembangan tahun itu telah memengaruhi dan membentuk pikiran, perilaku, dan pergulatan berbagai bangsa di dunia terhadap masa depan yang menjanjikan perubahan besar. Dari balik rongga gelap ketidakjelasan tahun 2030, seakan muncul kekuatan magnetik luar biasa yang menggerakkan pikiran, perhatian, perasaan, dan tindakan banyak bangsa. Banyak negara dan bangsa seolah dibuat gelisah, seolah tidak sabar menunggu datangnya era baru dalam satu generasi mendatang. 

Bagaimanakah sesungguhnya realitas dunia tahun 2030, yang menggetarkan dan mengerakkan banyak bangsa? Lebih khusus lagi, bagaimanakah nasib bangsa Indonesia pada tahun itu? 

Tanda-tanda perkembangan tahun 2030 atau tahun 2050 bagi banyak negara sudah mulai dirasakan sekarang ini. Tidaklah mengherankan, sejumlah negara tergerak memacu percepatan kemajuannya, berlari tunggang langgang, meraih kemajuan di dunia yang digambarkan semakin datar, the world is flat. 

Tanpa membiarkan mata terpejam sedikit pun, konsentrasi diarahkan ke depan untuk menatap tujuan hidup yang lebih baik, yang menjamin kesejahteraan hidup, kemerdekaan individu, perlindungan hak asasi dan demokrasi. Tidak sedikit bangsa gamang menghadapi tantangan dalam menggapai masa depan yang lebih baik, tetapi lebih rumit. Modal persiapan Sejumlah negara dinilai telah memiliki modal dan pijakan kuat untuk menggapai kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050. 

China, misalnya, disebut-sebut akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia pada tahun 2050. 

Kepemimpinan yang kuat dan berwibawa, ditambah etos kerja yang tinggi, telah mendorong China melesat maju. Angka-angka pertumbuhan ekonomi sangat menggiurkan dari tahun ke tahun, lebih-lebih dalam tiga dasawarsa terakhir. Sodokan kemajuan ekonomi China diperkirakan akan menggeser posisi AS ke posisi kedua, sementara India menikung mengambil posisi ketiga. Uni Eropa akan berada di urutan keempat dan Jepang pada posisi kelima. Berbagai ramalan menyebutkan China akan kedodoran, tetapi lebih banyak orang berkeyakinan tentang kembalinya kejayaan ekonomi China yang pernah diraih di abad ke-19. 

Keberadaan dunia tahun 2030 digambarkan akan ditandai oleh perkembangan teknologi luar biasa. 

Perekonomian akan dipengaruhi oleh: 

1. Teknologi Informasi, 2. Teknologi material, 3. Genetika, dan 4. Teknologi Energi. 

Perkembangan luar biasa ini dipicu oleh nanoteknologi, teknologi yang berbasis nano. Satuan nano sangatlah kecil. Satu nanometer sama dengan seperlima puluh ribu (1/50.000) tebal rambut. Sekalipun ukurannya sangatlah kecil, kemampuan nanoteknologi sangat dahsyat seperti dapat mengutak-atik molekul untuk memperoleh produk baru yang mengubah dunia. 

Peran besar yang diambil alih oleh teknologi berbasis nano cenderung meningkat tajam. Nanoteknologi diperkirakan akan menguasai dunia mulai tahun 2013. Penggunaan teknologi berbasis nano akan memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan seperti dalam bidang kesehatan dan pangan. Bahkan diramalkan, persoalan pangan tidak akan menjadi masalah lagi. Orang boleh makan apa saja, tidak khawatir sakit. Penyakit turunan disembuhkan. Orang buta melihat, dan orang tuli mendengar. 

Hanya bangsa dan negara yang memiliki kemampuan menguasai teknologi tinggi dan canggih akan mengambil manfaat. Bangsa-bangsa yang tidak mampu mengantisipasi akan terus terpuruk, tetap berada di pinggiran dari panggung dunia yang menghadirkan kemajuan. 

Pada lapisan yang lebih dalam sangat diperlukan sumber daya manusia yang andal, yang mampu menguasai perkembangan dan kemajuan teknologi untuk peningkatan kesejahteraan manusia. Arah perkembangan kemajuan setiap bangsa akan sangat tergantung pada kemampuan menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan andal. Maka bisa terjadi, negara yang sudah maju akan bertambah maju, atau sebaliknya. 

Negara yang tidak maju bisa menjadi maju, atau malah semakin terpuruk. Sejarah memperlihatkan, banyak negara yang kejayaannya meredup bahkan hancur seperti dalam kasus Imperium Roma, Inca dan Aztek, atau Ottoman Turki. 

Juga dapat dijadikan ilustrasi, Kamboja tahun 1200 termasuk negara kaya di dunia. Tahun 1500, Peru dan Meksiko mencengangkan. 

Tahun 1960-an, Lebanon dianggap Swiss-nya Timur Tengah dan Uganda Swiss-nya Afrika. 

Sekarang, ke mana mereka? 

Tahun 1800, Amerika Serikat lebih miskin daripada Kuba dan Argentina, tetapi AS kini menjadi begitu kaya. 

Kenapa? 

Tahun 1960-an Jepang adalah negara miskin, dan barang-barang bikinannya sangat dihina. Namun, kini semua mengakui Jepang sebagai negara hebat. 

Mengapa? 

Jawabannya, negara-negara itu sangat memerhatikan dan mengoptimalkan kemampuan sumber daya manusia. Negara yang kurang memerhatikan pengembangan sumber daya manusia melalui proses pendidikan yang baik akan mudah kedodoran. Ketajaman pikiran dan analisis sebagai salah satu hasil pendidikan akan mendorong penguatan visi yang berjangkauan jauh ke depan sampai ke tahun 2030, bahkan ke tahun 2050. 

Dalam menghadapi tantangan masa depan itu, orang tidak cukup lagi hanya masuk ke dalam, melihat kemampuan diri, tetapi juga menengok ke luar dengan memerhatikan kekuatan bangsa-bangsa lain. 

Kompetisi tidak terhindarkan. Pergerakan ke depan akan berlangsung dalam semangat kompetisi tinggi. Pasti ada yang terempas dan tak sampai. Bangsa yang kehilangan gairah akan kehabisan tenaga dan akan tertinggal jauh di belakang. 

Bangsa-bangsa yang hidup dari oportunitas kekinian dan berpikiran pendek dengan mengandalkan the art of the possible belaka akan cepat kehilangan napas menghadapi perjalanan jauh ke depan. 

Maka, yang diperlukan imajinasi dan visi yang kuat ke masa depan, yang harus diikat dalam komitmen kerja sebagai agenda yang konkret dan jelas. Tidak kalah pentingnya peran pemimpin dan kepemimpinan, yang memberikan arahan dan kawalan terhadap proses perubahan agar masa depan lebih baik ketimbang masa kini. 

Namun, jelas pula, pilihan-pilihan besar dan strategis tidaklah muncul dari ketajaman pikiran para politisi, melainkan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan menguasai pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia dapat melangkah maju bersama bangsa-bangsa lain. 

Apa pun tantangannya, Indonesia tidak bisa melangkah mundur lagi atau kembali ke masa lampau karena harus menemukan solusi baru dalam mengatasi berbagai persoalan masa depan. Tentu saja Indonesia belum kehabisan seluruh potensinya untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Sejarah telah memberikan sejumlah tugas khusus kepada bangsa dan negara Indonesia untuk melakukan transformasi yang berjangkauan jauh ke depan.

Semangat

Indonesia Kita Bisa!

Selasa, 18 Agustus 2009

Triple Track Strategy: Upaya Mengurangi Pengangguran dan Kemiskinan

Sejak mendapat mandat dari rakyat, melalui pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kepeduliannya untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Concern tersebut kemudian dirumuskan dengan new deal dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ringkasan dari new deal tersebut tertuang dalam prinsi triple track strategy: pro-growth,pro-job, dan pro-poor.

Track pertama dilakukan dengan meningkatan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Dan yang ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan.

Presiden SBY bersama jajaran kabinet terus melakukan dan mencari langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akan mengurangi pengangguran dan kemisknan. Anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan jumlahnya terus meningkat. Tahun 2004 berjumlah Rp 18 triliun, tahun 2005 meningkat menjadi Rp 23 triliun, tahun 2006 Rp 42 triliun dan tahun 2007 mendatang meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun.

Dalam setahun terakhir ada penurunan pengangguran hampir 1 juta, dari total 11 juta menjadi 10 juta. Sayangnya, laju pertumbuhan angkatan kerja baru per tahun mencapai 1,5 juta orang. “Maka kita harus melakukan langkah-langkah sangat gigih, sistematis, dan sangat terarah untuk sekali lagi menciptakan lapangan kerja tersebut,” ujar Presiden SBY usai rakor khusus membahas langkah-langkah bersama mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja bersama 12 menteri bidang ekonomi dan 6 gubernur se-Jawa di Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (14/12).

Sejumlah langkah nyata telah, sedang, dan terus diupayakan. Pengalaman banyak negara, juga pengalaman kita, memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Dalam Kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) XVI di Manado, 18 Juni lalu, Presiden SBY menegaskan, fokus mengurangi pengangguran dan kemiskinan ini semata bukan persoalan moral obligation, tapi juga persoalan keadilan. Karena itu pemerintah terus mengupayakannya secara gigih. (har)
.

Jumat, 03 Juli 2009

Iptek, Politik, dan Politisi

oleh: NINOK LEKSONO

”Hanya ilmu pengetahuan sajalah yang dapat memecahkan masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan, insanitasi dan buta aksara, takhayul dan hilangnya adat istiadat, habisnya sumber daya, atau sebuah negeri kaya yang didiami oleh penduduk miskin…. Siapakah sesungguhnya yang sanggup mengabaikan iptek sekarang ini? Pada setiap kesempatan kita pasti membutuhkan bantuannya.... Masa depan ditentukan oleh iptek dan orang-orang yang bersahabat dengannya.

(Jawaharlal Nehru, dikutip dari ”India Perspectives”, 8/2008)

Politik ternyata juga kemauan. Semasa memerintah, Presiden George W Bush banyak memveto isu lingkungan. Misalnya, Protokol Kyoto tidak mau ia tanda tangani. Lalu, ketika Negara Bagian California minta persetujuan untuk menetapkan sendiri aturan mengenai emisi gas rumah kaca dari mobil dan truk, Bush menolak. Kini, setelah menjadi presiden, Barack Obama meninggalkan pendekatan pasif Bush terhadap lingkungan. Menanggapi permintaan California, Obama, 26 Januari lalu, segera memanggil Badan Perlindungan Lingkungan untuk mempertimbangkan permintaan tersebut.

Kalau saja California mendapat persetujuan dari Obama, akan ada 13 negara bagian, dan diyakini akan bertambah lagi, yang akan menerapkan peraturan serupa. Sebagai konsekuensinya, pabrik pembuat mobil di Amerika dan di tempat lain akan dipaksa untuk memproduksi mobil dan truk yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar dibandingkan dengan yang ada sekarang ini, dan itu dilakukan dalam tempo lebih cepat (IHT, 28/1).

Keputusan mengenai California di atas tidak saja penting untuk menghasilkan kendaraan hemat bahan bakar minyak, tetapi juga memperlihatkan komitmen Presiden Obama dalam upaya menanggulangi meningkatnya gas-gas rumah kaca.

Kalau George W Bush memulai pemerintahan dengan meninggalkan janji kampanye untuk meregulasi gas karbon dioksida dan dengan mundur dari Persetujuan Kyoto, Obama memulai pemerintahannya dengan sinyal jelas, ia tidak akan ragu- ragu menggunakan wewenang pengaturan yang diberikan oleh Akta Udara Bersih dan aturan lain yang ada di tingkat federal untuk memerangi pemanasan global.

Lebih jauh lagi, Obama juga memerintahkan Departemen Transportasi untuk merampungkan standar efisiensi BBM nasional, seperti dikehendaki oleh RUU Energi tahun 2007. Standar-standar ini akan menuntut peningkatan efisiensi BBM pada mobil dan truk ringan Amerika, dari sekarang rata-rata 27 mil per galon menjadi 35 mil per galon.

Peran politik dan politisi

Dari kasus AS dan khususnya Negara Bagian California, tampak bahwa campur tangan politik/pemerintah sangat besar. Akan tetapi, yang juga tidak kalah menentukannya adalah peranan politisi.

Tampak bahwa isu-isu iptek, termasuk lingkungan di dalamnya, semakin penting dewasa ini. Namun, ada berapa banyakkah negarawan dan politisi yang punya visi dan wawasan tentang iptek seperti halnya pemimpin India yang ucapannya dikutip di atas? Atau yang mau membuat terobosan kebijakan seperti halnya Presiden Obama?

Tentu dari waktu ke waktu pemimpin Indonesia menampilkan komitmen terhadap iptek. Cikal bakal riset nuklir, bahkan peroketan, sudah muncul di era Bung Karno. Semasa kepemimpinan Pak Harto lahir pula visi iptek seperti pemanfaatan sistem komunikasi satelit domestik dan pengembangan industri kedirgantaraan. Sayang di era reformasi kepemimpinan berlangsung pendek sehingga pemimpin tak cukup waktu untuk mengembangkan visi iptek.

Keadaan sekarang, terlebih- lebih di era pemilu, di masa krisis ekonomi pula, tampak semakin memprihatinkan. Kalangan politisi bisa dikatakan tak menaruh perhatian terhadap iptek, sebagaimana juga partai-partai politik. Berapa parpol yang pernah mengusung iptek sebagai program atau tema kampanye?

Ketika era semakin sarat diwarnai pemanfaatan iptek, tiadanya visi iptek di kalangan elite tak jarang lalu membuat bangsa kedodoran ketika menghadapi berbagai fenomena perubahan alam, kemajuan iptek, juga impitan krisis ekonomi. Hal itu masuk akal karena sendi-sendi kehidupan berbangsa—yang salah satu fundamentalnya adalah iptek—amat rapuh di sini. Salah satu indikator yang sering disebut-sebut adalah rendahnya anggaran iptek yang kurang dari 0,5 persen produk domestik bruto. Sementara negara yang berambisi menjadi negara maju, seperti China, terus menaikkan anggaran ipteknya.

Tinggi rendahnya anggaran iptek itu sendiri juga mencerminkan tinggi rendahnya komitmen iptek di kalangan politisi Indonesia. Di negara lain, iptek disadari semakin memainkan peranan dalam kehidupan politik. Isu pangan dan energi, juga isu kesehatan seperti flu burung, atau juga isu keamanan seperti yang menyangkut pengayaan uranium oleh Iran atau pengembangan rudal balistik oleh Korea Utara, terkait dengan iptek untuk memahaminya.

Tantangan ke depan

Ketika urusan dan krisis semakin kompleks, umat manusia dihadapkan pada berbagai tantangan baru. Misalnya, ketika jumlah penduduk makin banyak dan lahan pertanian makin sempit, pemerintahan di sejumlah negara dihadapkan pada pertanyaan sulit, yakni ”siapkah membuat terobosan dengan memperkenalkan tanaman pangan yang genetikanya dimodifikasi?” Atau, yang sebelumnya sudah sering muncul, ketika dihadapkan pada kesempitan energi, ”siapkah pemerintah memanfaatkan energi nuklir?” Lalu, kalau solusi yang diyakini adalah energi terbarukan nonnuklir, manakah yang harus diprioritaskan? Energi suryakah? Atau geotermal? Apa pun, semuanya membutuhkan adanya wawasan iptek untuk memutuskannya.

Sementara itu, lingkup wawasan iptek yang sebenarnya dibutuhkan oleh elite bangsa sebenarnya lebih luas lagi. Selain yang telah disinggung di atas, masih ada lagi soal kloning, bioterorisme, perang cyber, dan lainnya.

Dihadapkan pada realitas baru ini, pemerintah—seperti dikatakan Prof Katherine Pandora yang memberi kuliah tentang ”Science, Technology and Politics” di Universitas Oklahoma (2006)—terus-menerus dihadapkan pada tekanan untuk memutuskan apa yang harus didukung dan didanai dalam kebijakan iptek. Sementara itu, warga negara individu hidup dalam konsekuensi keputusan pemerintah, tidak saja setahun atau dua tahun, tetapi bahkan bergenerasi-generasi kemudian. Makanan yang kita makan, udara yang kita hirup, air yang kita minum, mesin yang kita gunakan dalam pekerjaan, sistem yang kita ada di dalamnya, lalu bagaimana kita hidup dan mati, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, merupakan bagian dari jaringan lebih besar yang ada di bawah naungan pengaruh iptek dan politik.

Dalam konteks itulah masih terus diharapkan keterbukaan para politisi terhadap wawasan iptek yang semakin besar peranannya dalam kehidupan warga individu maupun kehidupan kebangsaan.

Kamis, 18 Juni 2009

Kerjasama yang Baik dan Indah


UPI-MIT-HARVARD-STANFORD-KAUST-Al-Azhar-IIT (Indian Institute of Technology), BLCU (Beijing Language and Culture University)

Minggu, 03 Mei 2009

BUDAYA UNGGUL dan INVESTASI SDM

BUDAYA UNGGUL dan INVESTASI SDM
Oleh Suryopratomo




Saat menerima penghargaan dari Universitas Mercu Buana hari Sabtu pekan lalu, wartawan senior Rosihan Anwar menekankan pentingnya pendidikan. Investasi pada bidang sumber daya manusia memang tidak segera bisa dinikmati hasilnya. Namun pada jangka panjang, niscaya manfaatnya akan segera terasakan.

Rosihan menunjuk India sebagai contoh. ”Lima puluh tahun lalu ketika India memutuskan untuk fokus pada human investment, banyak negara yang mencemooh. Untuk apa melahirkan banyak doktor, sarjana di bidang keuangan dan bidang sains, kalau negaranya tetap miskin,” kata Rosihan.

Cemoohan itu, menurut Rosihan, wajar muncul karena kaum intelektual India itu tidak mendapatkan tempat di negerinya. Bangsa India justru berdiaspora, bertebaran di banyak negara, bekerja di negeri orang.

”Ketika jumlahya masih terbatas dan lapangan kerja di dalam negerinya masih terbatas, orang India yang pintar-pintar terpaksa pergi ke Amerika, ke Inggris, ke Australia untuk bekerja. Tetapi ketika critical mass-nya tercipta, India bisa membangun negaranya sendiri,” kata wartawan senior itu.

Rosihan tidak ragu dengan pandangan banyak orang bahwa India dalam waktu tidak terlalu lama akan menjadi kekuatan ekonomi besar dunia. Mengapa? Karena India mempunyai sumber daya manusia yang memadai untuk mendorong negaranya menjadi negara maju.

”Orang mengatakan India seperti halnya China akan menjadi kekuatan ekonomi utama dunia, saya tidak ragu karena bangsa India melakukan kebijakan yang tepat, yakni melakukan human investment,” kata Rosihan.

Kata kunci yang harus dihadapi seluruh bangsa dunia di depan adalah persaingan. Globalisasi yang sedang kita hadapi membuat persaingan itu bahkan akan semakin ketat.

Untuk bisa memenangi persaingan tidak ada pilihan lain kecuali setiap negara memiliki SDM yang berkualitas. Semakin banyak SDM berkualitas yang dimiliki sebuah negara akan semakin besar peluang yang dimiliki negara tersebut untuk bisa memenangi persaingan atau kompetisi dan memetik manfaat maksimal dari yang namanya globalisasi.

Tentu untuk membuat keunggulan itu bermanfaat serta menghasilkan sesuatu bagi bangsa dan negara dibutuhkan lingkungan yang mendukung. Harus disediakan ruangan yang bisa memungkinkan semua potensi itu berkembang dengan optimal.

Di sinilah diperlukan yang namanya levelled playing field, ruang bermain yang berlaku sama bagi setiap warga negara. Mereka yang meraih kemajuan adalah mereka yang memang lebih kreatif, mereka yang lebih produktif, mereka yang bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Bukan mereka yang kebetulan mendapatkan kemudahan, memiliki kekuasaan, mendapatkan privilege.

Dengan lingkungan yang lebih kondusif, maka setiap orang dipacu untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Tidak mudah mengeluh dan menyerah kepada keadaan. Selalu berupaya untuk lebih unggul dan memenangi persaingan.

Sikap untuk tidak mudah kalah harus diciptakan dari lingkungan yang sehat. Semua orang dipacu untuk bisa menjadi yang terbaik. Tidak bisa sikap ”kalau bangsa lain bisa, kita juga harus bisa” terjadi dengan sendiri. Itu harus dengan sengaja dibentuk dan ditanamkan kepada diri setiap warga negara.

LINGKUNGAN

Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia tidak memiliki SDM yang unggul?

Bangsa ini dilahirkan sebagai bangsa yang cerdas dan unggul. Dalam setiap bidang, selalu lahir orang-orang yang berkualitas, entah itu dari olahraga maupun bidang-bidang yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Ukurannya sederhana saja. Orang Indonesia selalu menonjol ketika dia berkiprah di negeri orang. Sebut, misalnya, pemain sepak bola Kurniawan Dwi Julianto ketika berkiprah di Liga Swiss atau Bambang Pamungkas yang sekarang ini menjadi bintang di Liga Malaysia. Atau di cabang bulu tangkis, Tony Gunawan yang mampu membawa Amerika Serikat tiba-tiba masuk ke dalam kelompok negara juara dengan mempersembahkan gelar juara dunia ganda putra bagi negeri tersebut.

Singapura sejak lama melihat Indonesia sebagai negara dengan potensi SDM berkualitas. Sejak beberapa tahun terakhir, mereka masuk ke sekolah-sekolah terbaik yang ada di Indonesia untuk menawarkan beasiswa kepada murid yang berpotensi.

Sejak tingkat SMA, anak-anak Indonesia diundang untuk mengecap pendidikan di Negeri Singa itu. Ketika prestasinya semakin menonjol, mereka ditawari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dengan ikatan dinas. Anak-anak Indonesia itu diminta untuk tiga tahun bekerja di Singapura setelah selesai menjalani pendidikan tingkat tingginya.

Prestasi anak-anak Indonesia diakui di banyak negara lain. Pertanyaannya tentu, mengapa mereka tidak bisa memberi sumbangsih yang nyata bagi kemajuan Tanah Airnya?

Jawabannya terletak pada faktor lingkungan. Potensi yang luar biasa dari putra bangsa tidak mendapatkan tempat untuk bisa berkembang di negerinya.

Sikap untuk mencari jalan pintas begitu umum terjadi di negeri ini. Bahkan orang bangga apabila bisa kaya, meski tidak bekerja.

Padahal, Bapak Bangsa India Mahatma Gandhi mengatakan, salah satu dari tujuh dosa sosial adalah kaya tanpa bekerja. Orang harus merasa malu apabila kaya raya tetapi tidak dari bekerja. Artinya, orang harus bekerja keras, harus berkeringat apabila ingin memetik hasilnya.
Untuk itu Gandhi mengajarkan rakyatnya untuk pintar dan berilmupengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan pun bukan sekadar ilmu biasa, tetapi ilmu pengetahuan yang dilengkapi dengan karakter.

Sebab, memang sangat berbahaya orang memiliki ilmu, namun tidak ditujukan untuk kepentingan yang baik. Apalagi tidak dilengkapi dengan etika yang ia pegang teguh. Mereka akan menjadi monster yang merugikan dan membahayakan orang lain.

Kita sangat merasakan sekarang ini ketika orang terbawa arus konsumerisme, tanpa memahami untuk apa semua itu. Kekayaan dan menjadi kaya seolah-olah menjadi tujuan yang harus dicapai, tanpa peduli bagaimana semua itu didapatkan.

Maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri ini terjadi ketika semua orang menjadikan kaya itu sebagai tujuan. Di tengah ketidakpahaman untuk apa orang menjadi kaya itu dan bagaimana meraih kekayaan itu, maka orang mau melakukan apa saja untuk meraih tujuan tersebut.

PERBAIKAN


Apabila kita ingin memperbaiki bangsa dan negara ini dengan membangun budaya unggul (culture of excellences), maka tidak bisa lain kecuali kita memperbaiki lingkungan terlebih dahulu. Harus diciptakan suasana yang menyehatkan, yang memungkinkan semua orang untuk mempertunjukkan keunggulan.

Caranya adalah dengan bersama-sama memberikan penghargaan kepada setiap keunggulan yang ada dan tercipta. Tidak perlu bentuknya dalam materi, tetapi pengakuan atas kehebatan seseorang sudah menjadi pemacu yang luar biasa bagi setiap orang untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Sebaliknya, kita harus berani memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar aturan main. Jangan dibiarkan orangorang yang jelas tidak unggul, tetapi mendapatkan kehormatan, kedudukan, apalagi kekayaan yang tidak sepantasnya didapat.

Artis-artis musik, misalnya, merupakan contoh orang-orang yang unggul. Dengan karyanya, mereka mampu mengangkat nama Indonesia untuk menembus pentas dunia. Namun, musisi seperti Dwiki Dharmawan dan Anang pernah mengeluh, betapa karyanya sangat tidak dihargai. Begitu karya mereka hasilkan, begitu pembajakan terjadi.

Upaya untuk mengadukan nasibnya kepada polisi sama sekali tidak membawa hasil. Para pembajak begitu leluasa menikmati hasil pembajakannya dan sering kali mereka membagi keuntungan yang tidak sah itu bersama oknum aparat.

Trio Bimbo (Sam, Acil, dan Jaka) pernah sampai patah semangat untuk berkarya. Sebab, karya yang jelas-jelas milik mereka, tidak dianggap sebagai karya yang harus diakui. Tidak ada satu pun pihak yang mau peduli dan kemudian memperjuangkan hak mereka.

Negeri ini mempunyai potensi besar untuk bisa maju. Negeri ini bukan hanya diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga dengan SDM yang berkualitas.

Yang dibutuhkan adalah cara penanganan yang benar. Dengan pemberian kesempatan lebih banyak lagi kepada setiap orang untuk bisa mengecap pendidikan agar tercapai critical mass yang mencukupi untuk bisa membawa negeri ini maju, maka niscaya negeri ini akan bergerak maju.

Apalagi jika ditambah dengan penciptaan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), maka orang tidak hanya didorong untuk memproduksi, tetapi bisa juga memasarkan hasil produksinya.

Investasi untuk tercapainya itu semua bukan hanya mahal, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Namun itu harus dilakukan, karena pilihan lain adalah bangsa ini akan menjadi bangsa yang terkebelakang.

Prof Daoed Joesoef pernah mengingatkan, tantangan yang dihadapi setiap bangsa ke depan adalah apa yang disebut dengan global trap. Perangkap global menunjukkan, jumlah orang yang berkualitas makin lama justru semakin lebih sedikit dibandingkan orang yang tak berkualitas.

Untuk mencegah jangan sampai itu terjadi, maka tidak bisa lain kecuali secara sengaja memberikan prioritas kepada investasi SDM.

Banyak negara mampu mengangkat bangsanya karena fokus untuk menangani pendidikan bangsanya. Kalau negara lain bisa, mengapa kita, bangsa Indonesia tidak mampu melakukan?

Belum lama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menantang anak-anak bangsa untuk mempunyai sikap ”kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak?” Sangat relevan kalau kita juga balik menantang pemerintah, ”kalau negara lain bisa memajukan bangsanya, mengapa pemerintah kita tidak bisa?”

Seharusnya tidak ada yang tidak bisa di dunia ini.


Oleh SURYOPRATOMO (KOMPAS 10 desember 2005)

Jumat, 03 April 2009

Menembus Pandang ke Tahun 2030

Menembus Pandang ke Tahun 2030
Rikard Bagun, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas.


Sosok tahun 2030, apalagi tahun 2050
,
belum tersingkap jelas, tetapi sejumlah negara tampak bergegas melakukan antisipasi. Ada apa dengan tahun 2030 atau tahun 2050?

Dengan mengandalkan ketajaman imajinasi dan visi, perkembangan dan tingkat kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050 mulai diproyeksikan secara meyakinkan. Gambaran tentang perkembangan dan kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050 sebenarnya belum jelas.
Makna angka 2030 atau 2050 secara matematis mungkin tidak terlalu penting lagi.

Jauh lebih penting sebenarnya bagaimana bangsa-bangsa di dunia mulai mempersiapkan diri dalam menghadapi perkembangan satu generasi ke depan, yang diproyeksikan sampai tahun 2030.

Imajinasi dan visi tentang perkembangan tahun itu telah memengaruhi dan membentuk pikiran, perilaku, dan pergulatan berbagai bangsa di dunia terhadap masa depan yang menjanjikan perubahan besar.

Dari balik rongga gelap ketidakjelasan tahun 2030, seakan muncul kekuatan magnetik luar biasa yang menggerakkan pikiran, perhatian, perasaan, dan tindakan banyak bangsa. Banyak negara dan bangsa seolah dibuat gelisah, seolah tidak sabar menunggu datangnya era baru dalam satu generasi mendatang.

Bagaimanakah sesungguhnya realitas dunia tahun 2030, yang menggetarkan dan mengerakkan banyak bangsa? Lebih khusus lagi, bagaimanakah nasib bangsa Indonesia pada tahun itu?

Tanda-tanda perkembangan tahun 2030 atau tahun 2050 bagi banyak negara sudah mulai dirasakan sekarang ini. Tidaklah mengherankan, sejumlah negara tergerak memacu percepatan kemajuannya, berlari tunggang langgang, meraih kemajuan di dunia yang digambarkan semakin datar, the world is flat.

Tanpa membiarkan mata terpejam sedikit pun, konsentrasi diarahkan ke depan untuk menatap tujuan hidup yang lebih baik, yang menjamin kesejahteraan hidup, kemerdekaan individu, perlindungan hak asasi dan demokrasi. Tidak sedikit bangsa gamang menghadapi tantangan dalam menggapai masa depan yang lebih baik, tetapi lebih rumit.

Modal persiapan

Sejumlah negara dinilai telah memiliki modal dan pijakan kuat untuk menggapai kemajuan tahun 2030 atau tahun 2050. China, misalnya, disebut-sebut akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia pada tahun 2050.

Kepemimpinan yang kuat dan berwibawa, ditambah etos kerja yang tinggi, telah mendorong China melesat maju. Angka-angka pertumbuhan ekonomi sangat menggiurkan dari tahun ke tahun, lebih-lebih dalam tiga dasawarsa terakhir.

Sodokan kemajuan ekonomi China diperkirakan akan menggeser posisi AS ke posisi kedua, sementara India menikung mengambil posisi ketiga. Uni Eropa akan berada di urutan keempat dan Jepang pada posisi kelima.

Berbagai ramalan menyebutkan China akan kedodoran, tetapi lebih banyak orang berkeyakinan tentang kembalinya kejayaan ekonomi China yang pernah diraih di abad ke-19.

Keberadaan dunia tahun 2030 digambarkan akan ditandai oleh perkembangan teknologi luar biasa. Perekonomian akan dipengaruhi oleh teknologi informasi, teknologi material, genetika, dan teknologi energi.

Perkembangan luar biasa ini dipicu oleh nanoteknologi, teknologi yang berbasis nano. Satuan nano sangatlah kecil. Satu nanometer sama dengan seperlima puluh ribu (1/50.000) tebal rambut.

Sekalipun ukurannya sangatlah kecil, kemampuan nanoteknologi sangat dahsyat seperti dapat mengutak-atik molekul untuk memperoleh produk baru yang mengubah dunia.
Peran besar yang diambil alih oleh teknologi berbasis nano cenderung meningkat tajam.

Nanoteknologi diperkirakan akan menguasai dunia mulai tahun 2013.
Penggunaan teknologi berbasis nano akan memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan seperti dalam bidang kesehatan dan pangan. Bahkan diramalkan, persoalan pangan tidak akan menjadi masalah lagi. Orang boleh makan apa saja, tidak khawatir sakit. Penyakit turunan disembuhkan. Orang buta melihat, dan orang tuli mendengar.

Hanya bangsa dan negara yang memiliki kemampuan menguasai teknologi tinggi dan canggih akan mengambil manfaat. Bangsa-bangsa yang tidak mampu mengantisipasi akan terus terpuruk, tetap berada di pinggiran dari panggung dunia yang menghadirkan kemajuan.
Pada lapisan yang lebih dalam sangat diperlukan sumber daya manusia yang andal, yang mampu menguasai perkembangan dan kemajuan teknologi untuk peningkatan kesejahteraan manusia.

Arah perkembangan kemajuan setiap bangsa akan sangat tergantung pada kemampuan menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan andal. Maka bisa terjadi, negara yang sudah maju akan bertambah maju, atau sebaliknya. Negara yang tidak maju bisa menjadi maju, atau malah semakin terpuruk.

Sejarah memperlihatkan, banyak negara yang kejayaannya meredup bahkan hancur seperti dalam kasus Imperium Roma, Inca dan Aztek, atau Ottoman Turki.

Juga dapat dijadikan ilustrasi, Kamboja tahun 1200 termasuk negara kaya di dunia. Tahun 1500, Peru dan Meksiko mencengangkan. Tahun 1960-an, Lebanon dianggap Swiss-nya Timur Tengah dan Uganda Swiss-nya Afrika. Sekarang, ke mana mereka?

Tahun 1800, Amerika Serikat lebih miskin daripada Kuba dan Argentina, tetapi AS kini menjadi begitu kaya. Kenapa? Tahun 1960-an Jepang adalah negara miskin, dan barang-barang bikinannya sangat dihina. Namun, kini semua mengakui Jepang sebagai negara hebat. Mengapa?

Jawabannya, negara-negara itu sangat memerhatikan dan mengoptimalkan kemampuan sumber daya manusia. Negara yang kurang memerhatikan pengembangan sumber daya manusia melalui proses pendidikan yang baik akan mudah kedodoran.

Ketajaman pikiran dan analisis sebagai salah satu hasil pendidikan akan mendorong penguatan visi yang berjangkauan jauh ke depan sampai ke tahun 2030, bahkan ke tahun 2050.
Dalam menghadapi tantangan masa depan itu, orang tidak cukup lagi hanya masuk ke dalam, melihat kemampuan diri, tetapi juga menengok ke luar dengan memerhatikan kekuatan bangsa-bangsa lain. Kompetisi tidak terhindarkan.

Pergerakan ke depan akan berlangsung dalam semangat kompetisi tinggi. Pasti ada yang terempas dan tak sampai. Bangsa yang kehilangan gairah akan kehabisan tenaga dan akan tertinggal jauh di belakang.

Bangsa-bangsa yang hidup dari oportunitas kekinian dan berpikiran pendek dengan mengandalkan the art of the possible belaka akan cepat kehilangan napas menghadapi perjalanan jauh ke depan.

Maka, yang diperlukan imajinasi dan visi yang kuat ke masa depan, yang harus diikat dalam komitmen kerja sebagai agenda yang konkret dan jelas. Tidak kalah pentingnya peran pemimpin dan kepemimpinan, yang memberikan arahan dan kawalan terhadap proses perubahan agar masa depan lebih baik ketimbang masa kini.

Namun, jelas pula, pilihan-pilihan besar dan strategis tidaklah muncul dari ketajaman pikiran para politisi, melainkan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan menguasai pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia dapat melangkah maju bersama bangsa-bangsa lain.

Apa pun tantangannya, Indonesia tidak bisa melangkah mundur lagi atau kembali ke masa lampau karena harus menemukan solusi baru dalam mengatasi berbagai persoalan masa depan.

Tentu saja Indonesia belum kehabisan seluruh potensinya untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Sejarah telah memberikan sejumlah tugas khusus kepada bangsa dan negara Indonesia untuk melakukan transformasi yang berjangkauan jauh ke depan.

Selasa, 03 Maret 2009

Menuju Visi Indonesia 2030

Download as PDF
Minggu, 27 - Mei - 2007, 02:03:27

Sabtu (26/5) bertempat di Gedung BPI ITB, Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar (MGB) ITB yang dikepalai oleh I Dewa Gede Raka menginisiasi Sidang Pleno Terbuka Majelis Guru Besar ITB Sidang pleno ini dihadiri oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor ITB, Djoko Santoso, beserta 2 Rektor ITB sebelumnya yaitu Kusmayanto Kadiman dan Haryadi, Ketua Senat, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Guru Besar ITB, alumni, serta perwakilan mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Agenda utama Sidang Pleno ini adalah paparan Prof.Dr.(H.C) Ir. Hartarto Sastrosoenarto yang mengangkat topik "Menuju Visi Indonesia 2030". Topik ini diambil dari bukunya yang berjudul "Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2030".



"Kita harus optimis akan kemampuan bangsa kita sendiri. Sebelumnya, kita telah berhasil mencapai visi bangsa kita yang pertama, kemerdekaan. Dalam laporan private banking terbesar di dunia, UBS, dalam buku tahunan 2007 memprediksikan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi 10 besar dunia dalam tahun 2025 dengan syarat apabila perkembangan budaya, politik, dan ekonomi mendukungnya", kata Hartarto mengawali paparannya.



Hartarto yang juga alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 1952, menyatakan bahwa perumusan visi bangsa harus dilakukan secara luas dan menjadi komitmen menyeluruh bangsa, sehingga siapapun Presiden/Gubernur/Bupati yang terpilih akan bekerja keras untuk mencapai visi bangsa tersebut. Visi yang dirumuskan pun harus realistis dan down to earth.



Hartarto yang dulu sempat menjabat sebagai Menperindag dan berbagai jabatan Menko lainnya di kabinet selama 16 tahun, sejak 1983 s.d. 1999, meringkas Visi Indonesia pada tahun 2030 sebagai berikut:

1. Demokrasi dan otonomi daerah telah mantap/dewasa perkembangannya.

2. Prudent macro economic management dengan balance budget dan inflasi yang rendah

3. Neraca perdagangan yang positif, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6% pertahun syukur lebih tinggi, didukung investasi

4. Angka pertumbuhan penduduk 0,9%, dengan jumlah 300 juta orang

5. Pendapatan perkapita menjadi US $ 6000 - US $ 7000 jumlah penduduk miskin yang rendah

6. Ratio pendapatan pajak terhadap PDB 30%, hutang amat kecil, memiliki kemandirian bangsa dalam administrasi negara, pelaksanaan pembangunan dan pertahanan/keamanan

7. Industri, pertanian dan jasa tumbuh pesat, dan mampu:

- Mencapai swasembada pangan secara lestari

- Menjadi bangsa niaga yang maju

- Jasa yang luas

8. Memiliki pertahanan keamanan yang kuat, disegani di forum internasional.



"Harus diakui bahwa kita telah memiliki fundamental yang kokoh, yaitu demokrasi dan otonomi daerah, yang tentu saja kita sadar bahwa pemantapannya memerlukan waktu. Dan bila kita melihat potensi diri bangsa, maka sesungguhnya terdapat 3 kekuatan penggerak. Yang pertama, sumber daya manusia Kekuatan penggerak kedua adalah penguasaan dan pengembangan iptek. Kekuatan penggerak ketiga adalah peranan dan dukungan pemerintah pusat dan daerah, yaitu moneter, fiskal, dan administrasi negara", tutur Hartarto saat memasuki bagian kedua paparannya tentang bagaimana untuk mencapai visi 2030."Dalam konteks dinamika ekonomi global setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan, diantaranya ketidakseimbangan neraca perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang akan mendorong meningkatnya proteksionisme negara-negara maju. Masalah berikutnya adalah perkiraan harga BBM yang lebih tinggi dari harga sekarang sehingga sebisa mungkin kita harus menghentikan ekspor sumber daya mineral tersebut. Lemahnya investasi merupakan hal lain yang harus dikhawatirkan dalam konteks global", tambah Hartarto.



Dengan melihat keterbatasan terhadap kemampuan keuangan negara, Hartarto menyarankan beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menciptakan iklim usaha yang benar-benar kondusif. Kedua, membenahi peranan aparatur pajak. Ketiga, menyisihkan sebagian dana APBN untuk dialokasikan bagi pengembangan bank pemerintah dengan fokus pada pembangunan industri (mesin, perkapalan) dan pertanian (perkebunan, kelautan) dengan bunga rendah. Keempat, pengembangan sektor pertanian dalam arti luas termasuk pula kehutanan dan kelautan. Kelima, mengembangkan dan melaksanakan strategi dan visi industrialisasi. Selanjutnya kekuatan ekonomi ketiga yang perlu dikembangkan secara terpadu adalah sektor jasa.



Kemudian dalam penutupnya, Hartarto berpesan,"Dengan konsisten melaksanakan langkah-langkah tersebut dengan semboyan the impossible is possible, Insya Allah Indonesia akan menjadi bangsa yang maju tidak lama setelah visi 2030 tercapai."



Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh I Dewa Gede Raka selaku moderator. Imam Taufik yang juga hadir pada diskusi ini menanggapi bahwa peran ICT sangat penting dalam menentukan daya saing bangsa sehingga beliau menyarankan kepada PII agar dibentuk suatu badan jurusan baru yang concern menangani hal ini. Sementara, Djoko Santoso selaku Rektor ITB memberi komentar mengenai peran ITB yng dianggap mampu mengawali langkah dalam rangka pencapaian visi 2030. Kemudian tanggapan terakhir berasal dari perwakilan mahasiswa yang bertanya tentang langkah konkrit yang dapat diambil mahasiswa untuk menginisiasi upaya pencapaian visi 2030.

Selasa, 17 Februari 2009

Rekonstruksi Budaya Indonesia

"Afhankelijkheid"
Sri-Edi Swasono
Kompas, Sabtu 20 Desember 2008



Pesan konstitusional ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya” sarat dengan tugas budaya.

Kasus besar bangsa ini terkait budaya. Terkait ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, perlu penegasan bahwa mencerdaskan kehidupan bukan sekadar mencerdaskan otak. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah konsepsi budaya, bukan sekadar konsepsi biologis genetika (MFH, 2005).

Kongres Budaya

Dalam konteks kemerdekaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diartikan sebagai melepaskan diri dari keinlanderan dan keterjajahan, serba minder, takut, tunduk dan terkekang berbagai unfreedom, suatu keterbelengguan kultural. Berani merdeka adalah berani mandiri, melepas afhankelijkheid, melepas ketergantungan nasib kepada pihak lain. Ini tugas budaya kita.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (Kompas, 5/9/2002) mengingatkan, pembangunan nasional bertujuan meningkatkan innerlijke beschaving, meningkatkan harkat martabat bangsa, memiliki innernobility. Sebagai pembicara pada Kongres Budaya 2003 di Bukittinggi, cita-cita berkehidupan cerdas ini saya kemukakan dengan harapan agar dapat dilahirkan dari kongres ini suatu strategi budaya solid untuk memajukan bangsa agar bangsa ini tidak mengkeret jalan di tempat.

Saya sempat mengemukakan (Kompas, 16/8/2005), untuk mencapai suatu kecerdasan hidup bangsa, diperlukan sikap- sikap budaya, seperti mengejar kepintaran, berakal, kreatif, inovatif, produktif, jujur, berharga diri, dan mandiri. Artinya, pembangunan nasional adalah upaya modernisasi membangun manusia seutuhnya, yang semuanya dapat direncanakan melalui perencanaan pembangunan nasional.

Pembangunan menjadi upaya nasional untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan membangun, expanding people’s capabilities (Sen, 2002), membangun ketahanan nasional menuju kejayaan bangsa dan negara, memperkukuh modal sosial budaya yang mendasari modal ekonomi. Dalam GBHN, hal ini disebut demi mendesain wujud masa depan.

Namun, GBHN (secara gegabah) telah dihapus. Akibatnya, kita kehilangan landasan budaya dan aneka dimensi dalam pembangunan. Tidak ada lagi pertanyaan mendasar ”what kind of society do we want to have in the future”, sebagaimana dilemparkan Sudjatmoko kepada kami di Bappenas (1973).

Tentu menyedihkan saat beberapa pekan lalu saya memberi kuliah tamu di
Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Seoul. Saat itu seorang mahasiswa bertanya, ”Prof Ahn Young Ho 30 tahun lalu bilang kepada murid-muridnya di HUFS bahwa Indonesia amat berpotensi menjadi negara maju di Asia. Kini Prof Koh Young Hun, salah satu murid Prof Ahn Young Ho 30 tahun lalu itu, mengatakan kepada kami hal serupa, Indonesia amat berpotensi menjadi negara maju. Mengapa berpotensi melulu, kapan majunya?”

Jawaban saya jujur-jujur saja. ”Indonesia adalah negara pluralistik dan multikulturalistik yang penuh heterogenitas, sedangkan bangsa Korea memiliki homogenitas yang solid. Mungkin ini yang membuat rakyat Korea mudah diatur bersinergi. Nation and character building Indonesia belum selesai.Untuk itu diperlukan kepemimpinan tangguh. Indonesia kaya akan sumber daya alam, potensinya luar biasa. Maka, Indonesia selalu dibidik- bidik, dikacau kekuatan global agar tidak bersatu kukuh, sehingga kekayaan alamnya mudah dirampok bangsa-bangsa serakah. Lembaga-lembaga kreditor tidak benar-benar membantu, tetapi malah menjerumuskan agar Indonesia tetap bergantung pada luar negeri, terutama perekonomiannya.”

Juga saya katakan, kini anak-anak muda Indonesia sedang bangkit tekadnya untuk maju dan mandiri. Saya tambahkan, bila Barack Obama bersemboyan "Change", para mahasiswa saya bersemboyan lebih maju, change and progress.

Prof Koh Young Hun menuliskan semangat kebangsaannya (Kompas, 26/1/2008), ”Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia”. Ini adalah sindiran halus, judul terselubung yang sebenarnya ”Korea Bisa, Kok Indonesia Tak Bisa-bisa”.

Presiden Korea Lee Myung-bak menancapkan tekad membangunnya 7-4-7, artinya: 7 persen pertumbuhan ekonomi, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan menjadi negara ke-7 terbesar ekonominya di dunia dalam pemerintahannya.

Sedikit catatan. Selain itu, Malay Studies HUFS yang dipimpin Prof Ahn, yang sejak 33 tahun lalu berubah menjadi Jurusan Malay-Indonesia Studies (atas kerja sama awal dengan Universitas Indonesia 1975), telah meluluskan 2.500 lulusan berbahasa Indonesia. Prof Ahn menerbitkan Kamus Indonesia-Korea dan Prof Koh melalui Gramedia menerbitkan kumpulan cerpen Korea Laut dan Kupu-kupu.

Malas dan Boros

Mengapa Indonesia boros (bisa memahami budaya prihatin, tetapi tidak memahami budaya austerity). The myth of lazy people bagi Indonesia bukan lagi mitos, tetapi mendekati kebenaran. Kita suka libur-libur panjang.

Budaya cinta tanah air (merawat, tidak merusak) belum terasa sebagai kewajiban, padahal cinta tanah air bagian dari iman. Mengapa Indonesia tak kunjung memahami budaya bersih, padahal kebersihan bagian dari iman. Di sekitar kita terlihat kampus-kampus yang kotor karena kaum terpelajar ini tidak tahu bersih itu ”yang seperti apa”. Jakarta kotor oleh corat-coret anak-anak yang berjuang mencari pengakuan keberadaan, tetapi kita tidak memberi mereka identitas dan kebanggaan.

Budaya berkonsumsi lebih menonjol daripada berproduksi, iklan-iklan menjuruskan rakyat pada pola konsumsi boros, affluency yang mendorong korupsi yang merongrong daya tumbuh ekonomi kita. Kita selalu takut tidak kebagian, maka kita tidak berbudaya antre.

Kesenian Indonesia lebih menjadi pameran ekonomi daripada penghayatan budaya sehingga tak muncul menjadi kebanggaan nasional. Kita menjadi éla-élo, terseret gebyar keserakahan global.

Kebinekaan sebagai aset nasional tidak digarap menjadi keutuhan nasional. Mutualisme nasional harus bisa diciptakan sebagai daya ikat dinamis sehingga kebinekaan menjadi kohesi nasional. Dengan mutualisme, gerak divergensi lebih mudah dikonversi menjadi konvergensi nasional. Kerja sama antardaerah dengan segala local specifics-nya menciptakan interdependensi nasional. Semua ini tidak mendapat posisi strategis dalam perencanaan pembangunan budaya.

Budaya pangreh (yang menge-recht atau menghukum) tidak ditransformasi menjadi kebudayaan pamong (yang mengurus rakyat). Akibatnya, budaya menggusur orang miskin lebih menonjol daripada menggusur kemiskinan. Sikap mendukung ”daulat rakyat” dibiarkan kalah oleh ”daulat pasar”. Kita lupa bertanya bagaimana mentransformasi diri dari ”bangsa kuli” menjadi ”tuan di negeri sendiri” dan menolak menjadi ”jongos globalisasi” seperti saat ini. Artinya, bagaimana kita membentuk kedigdayaan nasional.

Mungkin, itu sekelumit makna perlunya kita berkongres budaya, mendesain strategi budaya, dan mendesain masa depan melalui perencanaan pembangunan nasional.

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selasa, 06 Januari 2009

Abad Pertarungan Talenta

Salah satu tulisan terbaik Kompas

Oleh: Ir. Siswono Yudo Husodo

Sabtu, 27 Januari 2007


Hasil memprihatinkan pesta olahraga Asian Games 2006 kian menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi dinamika kompetisi antarbangsa yang kian semarak di segala bidang.

Memang peradaban suatu masyarakat sering dikaitkan dengan prestasi olahraganya karena moto Olimpiade sejak zaman Yunani kuno, Citius-Altius-Fortius (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat), di dunia olahraga modern bukan hanya berbicara otot, kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan dan kecerdikan, semangat, keuletan dan ketabahan, kekuatan mental, ketekunan, keandalan manajemen dan keterampilan; kemampuan diri yang dinamai talenta.

Dalam bidang ekonomi, Indonesia tidak lagi disebut sebagai kekuatan baru; kita tak hanya tertinggal dari negara-negara Asia yang sudah sejahtera, atau yang difavoritkan seperti China dan India, tetapi juga dari negara-negara pendatang baru.

Majalah Time baru-baru ini melaporkan, lima negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, China, Vietnam, Laos, Kamboja, dan India. Sementara lima negara Asia dengan pertumbuhan ekspor tertinggi adalah China, Vietnam, India, Banglades, dan Mongolia.

Perekonomian negara-negara itu tumbuh pesat, meninggalkan Indonesia yang target pertumbuhan ekonominya tahun ini diperkirakan 5,8 persen.

Kinerja ekonomi Indonesia memang belum pulih sejak krisis hampir 10 tahun lalu. Tanpa bermaksud menyesalkan perubahan politik yang telahterjadi, perbedaan Indonesia dengan negara-negara lain dalam menghadapi krisis ekonomi Asia 1996-1998 adalah sistem politik negara-negara lain tidak berubah sehingga program pemulihan tidak sulit dan pembangunan jangka panjang dapat diteruskan. Sementara di Indonesia, krisis berlangsung bersamaan dengan perubahan sistem politik.

Pemulihan lebih sulit, pembangunan jangka panjang sulit diteruskan.

Kompetisi kian ketat

Tahun 1943, PM Inggris Winston Churchill di Harvard University, AS,
mengatakan, "The empires of the future will be empires of the mind.

The battles of the future will be battles for talent" . The old
battles for natural resources are still there, but they are being
supplemented by new ones for talent; not just among companies, but also among countries (which fret about the "balance of brains").

Tak ada yang lebih efektif untuk membangun bangsa kecuali melalui
pendidikan yang baik bersamaan layanan kesehatan prima dan input
makanan berkualitas.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, kita memerlukan perbaikan konsumsi protein hewani yang terdapat dalam telur, susu, daging, dan ikan yang amat penting bagi pertumbuhan fisik dan kecerdasan.

Perbaikan itu terkait kemampuan ekonomi masyarakat. Karena itu,
perbaikan gizi masyarakat seiring dengan upaya meningkatkan kualitas SDM terkait upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tidak akan ada perbaikan kualitas SDM negara ini tanpa perbaikan gizi masyarakatnya.

Saat ini, konsumsi susu per kapita per tahun rakyat Indonesia 6,50
liter; lebih rendah dari Kamboja yang 12,97 liter dan Banglades 31,55 liter, jauh di bawah India yang melalui "revolusi putih"-nya sukses meningkatkan konsumsi susu per kapita per tahun rakyatnya menjadi 60 liter.

Begitu pula dengan daging, konsumsi per kapita per tahun bangsa kita baru 7 kg, di bawah Malaysia yang 48 kg dan Filipina 18 kg.

Konsumsi telur ayam per kapita per tahun rakyat Indonesia 51 butir, Malaysia 279 butir. Sebagai negara yang 75 persen wilayahnya lautan seluas 5,8 juta km, konsumsi ikan rakyat kita juga rendah, baru 26 kg per kapita per tahun, di bawah Malaysia 45 kg, jauh di bawah Jepang 70 kg per kapita per tahun; yang telah membuat bangsa Jepang mencapai usia harapan hidup tertinggi di dunia.

Konsumsi susu, daging, telur, dan ikan per kapita per tahun rakyat Indonesia perlu ditingkatkan.

Bila tidak, hanya dalam satu generasi, Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia akan lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cerdas daripada kita.

Mereka akan lebih berpeluang mencapai prestasi tinggi di berbagai bidang. Persaingan antarbangsa hanya bisa dimenangkan dengan
kecerdasan bangsa bersangkutan.

Perkembangan iptek

Abad ini akan didominasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Berbagai negara bangsa terus mencari dan mengembangkan anak-anak mudanya yang memiliki talenta unggul untuk mencapai prestasi maksimal.

Di berbagai perusahaan multinasional, orang-orang muda dengan talenta unggul diproyeksikan menduduki posisi penting untuk pengembangan teknologi masa depan.

Kita perlu mencari dan mengembangkan anak-anak bangsa kita yang memiliki talenta istimewa. Amat banyak anak cerdas yang terbatas sekolahnya karena keterbatasan kemampuan ekonomi orangtuanya.

Cukup menggembirakan, dalam jumlah kecil telah muncul beberapa yang berprestasi dalam Olimpiade Science Internasional. Tetapi, yang perlu dicari dan diasah, jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Amerika Serikat pada tahun 2003, meski masih mendominasi Nobel bidang eksakta, mulai khawatir karena jumlah insinyur muda AS yang siap bekerja di perusahaan multinasional AS hanya 540.000 orang; kurang dari kebutuhannya.

Sementara China memiliki stok sekitar 160.000 insinyur muda yang siap bekerja di perusahaan multinasional.

Singapura memiliki 10,9 persen populasi di bawah 24 tahun yang menyandang gelar di bidang eksakta, di bawahnya Korea Selatan yang memiliki 11,1 persen. Singapura dan Korea Selatan melampaui AS yang hanya memiliki 5,7 persen populasi di bawah 24 tahun yang telah menyandang gelar di bidang eksakta.

Terbatasnya anggaran adalah salah satu kendala kita. Menurut UNDP, untuk memperoleh pendidikan bermutu, diperlukan anggaran Rp 1,7 juta per tahun bagi setiap siswa SD, Rp 2,4 juta per tahun untuk SMP.

Pada tahun 2006, anggaran yang tersedia bagi 33 juta siswa SD dan SMP hanya Rp 600.000 per siswa SD per tahun dan Rp 800.000 per siswa SMP per tahun.

Menurut majalah The Economist, pada tahun 2005 anggaran belanja penyelenggaraan perguruan tinggi di seluruh dunia mencapai 300 miliar dollar AS, atau 1 persen produk ekonomi dunia; sedangkan Indonesia hanya 0,13 persen PDB kita.

Tahun 2006, biaya yang disediakan untuk tiap mahasiswa di AS adalah Rp 200 juta per tahun; Jepang Rp 108 juta per tahun, Eropa Rp 81 juta per tahun, sementara Indonesia dengan satu juta mahasiswa perguruan tinggi negeri dan tiga juta Mahasiswa perguruan tinggi swasta hanya Rp 6 juta per mahasiswa per tahun.

Saat ini setiap negara bangsa sedang berjuang keras untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa kian diukur dari tingkat kesejahteraan dan peradabannya. Karena itu, peningkatan standar hidup dan kualitas manusia Indonesia perlu dilakukan sungguh-sungguh, oleh pemerintah, masyarakat, tiap keluarga, dan orang per orang.

Negara dan pemerintah kita perlu cerdik hidup di dunia baru ini. Masyarakat juga perlu matang dalam menyikapi berbagai hal. Tak terbantahkan, banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu dengan daya saing tinggi.

Dengan perencanaan yang tepat, yang dilaksanakan dengan kesungguhan di bawah kepemimpinan nasional yang visioner, kita akan mampu mencapainya.