Selasa, 17 Februari 2009

Rekonstruksi Budaya Indonesia

"Afhankelijkheid"
Sri-Edi Swasono
Kompas, Sabtu 20 Desember 2008



Pesan konstitusional ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya” sarat dengan tugas budaya.

Kasus besar bangsa ini terkait budaya. Terkait ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, perlu penegasan bahwa mencerdaskan kehidupan bukan sekadar mencerdaskan otak. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah konsepsi budaya, bukan sekadar konsepsi biologis genetika (MFH, 2005).

Kongres Budaya

Dalam konteks kemerdekaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diartikan sebagai melepaskan diri dari keinlanderan dan keterjajahan, serba minder, takut, tunduk dan terkekang berbagai unfreedom, suatu keterbelengguan kultural. Berani merdeka adalah berani mandiri, melepas afhankelijkheid, melepas ketergantungan nasib kepada pihak lain. Ini tugas budaya kita.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (Kompas, 5/9/2002) mengingatkan, pembangunan nasional bertujuan meningkatkan innerlijke beschaving, meningkatkan harkat martabat bangsa, memiliki innernobility. Sebagai pembicara pada Kongres Budaya 2003 di Bukittinggi, cita-cita berkehidupan cerdas ini saya kemukakan dengan harapan agar dapat dilahirkan dari kongres ini suatu strategi budaya solid untuk memajukan bangsa agar bangsa ini tidak mengkeret jalan di tempat.

Saya sempat mengemukakan (Kompas, 16/8/2005), untuk mencapai suatu kecerdasan hidup bangsa, diperlukan sikap- sikap budaya, seperti mengejar kepintaran, berakal, kreatif, inovatif, produktif, jujur, berharga diri, dan mandiri. Artinya, pembangunan nasional adalah upaya modernisasi membangun manusia seutuhnya, yang semuanya dapat direncanakan melalui perencanaan pembangunan nasional.

Pembangunan menjadi upaya nasional untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan membangun, expanding people’s capabilities (Sen, 2002), membangun ketahanan nasional menuju kejayaan bangsa dan negara, memperkukuh modal sosial budaya yang mendasari modal ekonomi. Dalam GBHN, hal ini disebut demi mendesain wujud masa depan.

Namun, GBHN (secara gegabah) telah dihapus. Akibatnya, kita kehilangan landasan budaya dan aneka dimensi dalam pembangunan. Tidak ada lagi pertanyaan mendasar ”what kind of society do we want to have in the future”, sebagaimana dilemparkan Sudjatmoko kepada kami di Bappenas (1973).

Tentu menyedihkan saat beberapa pekan lalu saya memberi kuliah tamu di
Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Seoul. Saat itu seorang mahasiswa bertanya, ”Prof Ahn Young Ho 30 tahun lalu bilang kepada murid-muridnya di HUFS bahwa Indonesia amat berpotensi menjadi negara maju di Asia. Kini Prof Koh Young Hun, salah satu murid Prof Ahn Young Ho 30 tahun lalu itu, mengatakan kepada kami hal serupa, Indonesia amat berpotensi menjadi negara maju. Mengapa berpotensi melulu, kapan majunya?”

Jawaban saya jujur-jujur saja. ”Indonesia adalah negara pluralistik dan multikulturalistik yang penuh heterogenitas, sedangkan bangsa Korea memiliki homogenitas yang solid. Mungkin ini yang membuat rakyat Korea mudah diatur bersinergi. Nation and character building Indonesia belum selesai.Untuk itu diperlukan kepemimpinan tangguh. Indonesia kaya akan sumber daya alam, potensinya luar biasa. Maka, Indonesia selalu dibidik- bidik, dikacau kekuatan global agar tidak bersatu kukuh, sehingga kekayaan alamnya mudah dirampok bangsa-bangsa serakah. Lembaga-lembaga kreditor tidak benar-benar membantu, tetapi malah menjerumuskan agar Indonesia tetap bergantung pada luar negeri, terutama perekonomiannya.”

Juga saya katakan, kini anak-anak muda Indonesia sedang bangkit tekadnya untuk maju dan mandiri. Saya tambahkan, bila Barack Obama bersemboyan "Change", para mahasiswa saya bersemboyan lebih maju, change and progress.

Prof Koh Young Hun menuliskan semangat kebangsaannya (Kompas, 26/1/2008), ”Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia”. Ini adalah sindiran halus, judul terselubung yang sebenarnya ”Korea Bisa, Kok Indonesia Tak Bisa-bisa”.

Presiden Korea Lee Myung-bak menancapkan tekad membangunnya 7-4-7, artinya: 7 persen pertumbuhan ekonomi, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan menjadi negara ke-7 terbesar ekonominya di dunia dalam pemerintahannya.

Sedikit catatan. Selain itu, Malay Studies HUFS yang dipimpin Prof Ahn, yang sejak 33 tahun lalu berubah menjadi Jurusan Malay-Indonesia Studies (atas kerja sama awal dengan Universitas Indonesia 1975), telah meluluskan 2.500 lulusan berbahasa Indonesia. Prof Ahn menerbitkan Kamus Indonesia-Korea dan Prof Koh melalui Gramedia menerbitkan kumpulan cerpen Korea Laut dan Kupu-kupu.

Malas dan Boros

Mengapa Indonesia boros (bisa memahami budaya prihatin, tetapi tidak memahami budaya austerity). The myth of lazy people bagi Indonesia bukan lagi mitos, tetapi mendekati kebenaran. Kita suka libur-libur panjang.

Budaya cinta tanah air (merawat, tidak merusak) belum terasa sebagai kewajiban, padahal cinta tanah air bagian dari iman. Mengapa Indonesia tak kunjung memahami budaya bersih, padahal kebersihan bagian dari iman. Di sekitar kita terlihat kampus-kampus yang kotor karena kaum terpelajar ini tidak tahu bersih itu ”yang seperti apa”. Jakarta kotor oleh corat-coret anak-anak yang berjuang mencari pengakuan keberadaan, tetapi kita tidak memberi mereka identitas dan kebanggaan.

Budaya berkonsumsi lebih menonjol daripada berproduksi, iklan-iklan menjuruskan rakyat pada pola konsumsi boros, affluency yang mendorong korupsi yang merongrong daya tumbuh ekonomi kita. Kita selalu takut tidak kebagian, maka kita tidak berbudaya antre.

Kesenian Indonesia lebih menjadi pameran ekonomi daripada penghayatan budaya sehingga tak muncul menjadi kebanggaan nasional. Kita menjadi éla-élo, terseret gebyar keserakahan global.

Kebinekaan sebagai aset nasional tidak digarap menjadi keutuhan nasional. Mutualisme nasional harus bisa diciptakan sebagai daya ikat dinamis sehingga kebinekaan menjadi kohesi nasional. Dengan mutualisme, gerak divergensi lebih mudah dikonversi menjadi konvergensi nasional. Kerja sama antardaerah dengan segala local specifics-nya menciptakan interdependensi nasional. Semua ini tidak mendapat posisi strategis dalam perencanaan pembangunan budaya.

Budaya pangreh (yang menge-recht atau menghukum) tidak ditransformasi menjadi kebudayaan pamong (yang mengurus rakyat). Akibatnya, budaya menggusur orang miskin lebih menonjol daripada menggusur kemiskinan. Sikap mendukung ”daulat rakyat” dibiarkan kalah oleh ”daulat pasar”. Kita lupa bertanya bagaimana mentransformasi diri dari ”bangsa kuli” menjadi ”tuan di negeri sendiri” dan menolak menjadi ”jongos globalisasi” seperti saat ini. Artinya, bagaimana kita membentuk kedigdayaan nasional.

Mungkin, itu sekelumit makna perlunya kita berkongres budaya, mendesain strategi budaya, dan mendesain masa depan melalui perencanaan pembangunan nasional.

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia