Selasa, 03 November 2009

Indonesia dalam Politik Waktu

Dalam teori relativitas, waktu berbeda bagi setiap manusia. Dan dalam politik sebagai seni mengelola kehidupan banyak warga, waktu yang berbeda bagi setiap manusia itu harus dihadapkan, didialogkan, hingga dipertarungkan untuk menghasilkan titik temu.


Hari ini, tiap-tiap kelompok politik di negeri ini sedang mempertarungkan konsepsi waktunya. Di manakah kita pada masa lalu?

Di manakah posisi kita pada hari ini?

Ke mana kita harus melangkah?

Tiap-tiap kelompok mengajukan klaim kepada rakyat adalah zamannya yang membawa Indonesia bergerak maju seperti jarum jam. Mari kita simak pertarungan itu.

Dalam pikiran pihak penguasa, kita sedang berada tahun 5 D (atau 5 PD). Bagi mereka, lima tahun ini bermakna kemajuan Indonesia yang perlahan namun pasti. Dan mereka terus menyampaikan pesan ini dengan bukti dan klaim aneka terobosan perekonomian dalam sejarah, hingga belakangan ramai menyampaikan kebijakan menurunkan BBM tiga kali.

Kemudian, sebuah partai yang jamnya berhenti maju sejak 2004 — sebutlah, tahun 1 D — mengklaim sejak saat itu jarum jam Indonesia terus bergerak mundur. Sembako semakin mahal dan rakyat kian terjerat hidupnya. Mereka berjanji, bila rakyat merestui mereka memerintah, tahun 2009 jam Indonesia akan kembali bergerak maju, meneruskan zaman mereka yang pernah dimulai tahun 2001 dan sempat terhenti pada tahun ketiga.

Ada pula petarung yang implisit mengklaim tahun pertama Indonesia dimulai pada 1966. Samar-samar, mereka menuturkan, Indonesia bergerak maju, stabil, besar menjadi macan Asia sejak saat itu. Lantas, gerakan itu terhenti tahun 1998 dengan ditinggalkannya modus perekonomian yang melindungi rakyat seraya luruhnya orde besar yang menjaga mereka.

Bagi mereka, kini Indonesia telah masuk tahun 11 zaman kekacauan dan membutuhkan pemimpin besar serupa yang lalu.

Penguasa lalu mengajak rakyat untuk realistis. Bagi mereka, jam perubahan Indonesia harus bergerak dengan perlahan dan konstan sebagaimana konsepsi waktu mereka. Jangan terbuai mimpi revolusi, perubahan instan yang ditawarkan para kompetitor yang tidak realistis itu, ujarnya.

Indonesia sedang bergerak perlahan namun pasti menuju arah yang lebih baik, menurut mereka.

Para kompetitor membalas, benarkah Indonesia sedang melangkah ke arah lebih baik atau hanya delusi? Pertarungan memperebutkan waktu terus berlanjut.

Didefinisikan

Namun, bagi kita yang di luar pertarungan itu, aneka konsepsi waktu yang diajukan sama sekali absurd. Dengan sengaja mereka mengaburkan batasan antara kinerja mereka sendiri dan gerakan zaman yang merupakan akibat pergerakan ekonomi dan politik dunia.

Seperti saat pergerakan zaman menurunnya harga minyak dunia seakan pemerintah berjuang menurunkan BBM untuk mengangkat kehidupan rakyat. Dan seperti saat harga pangan dunia melesat naik karena ledakan kebutuhan dunia, petarung yang merupakan penguasa sebelumnya hanya mengingat-ingat harga pangan pada zamannya, bukan kebijakan pertanian yang pernah diletakkannya.

Namun, kita yang terus menggali kedangkalan klaim kelompok-kelompok politik itu akan segera menjumpai bahwa akar semuanya adalah sebuah kenyataan yang ironis: setiap zaman politik yang selama ini kita alami didefinisikan oleh kekuatan besar dari luar ”sana”.

Kehilangan waktu

Empat puluh dua tahun lalu, Richard Nixon sebagai Presiden AS dengan jelas mendefinisikan Indonesia: dengan 100 juta penduduk beserta jajaran pulau sepanjang 300 mil yang mengandung sumber daya alam paling kaya di kawasannya, Indonesia merupakan hadiah terbaik di Asia Tenggara. Indonesia adalah sebuah hadiah bagi kekuatan-kekuatan besar itu.

Stabilitas di masa lalu, perekonomian yang bertumbuh dahulu dan kini serta peristiwa-peristiwa lainnya yang membawa insentif dalam sejarah merupakan sedikit yang diberikan dunia dari keuntungan besar yang didapatkannya dengan memanfaatkan Indonesia. Lalu, konsepsi waktu yang ditawarkan tiap-tiap kelompok politik kepada rakyat hanyalah sepotong potret beku ke mana dunia membawa Indonesia pada masa mereka.

Itulah persoalannya. Di antara begitu banyak kehilangan yang dialami Indonesia sebagai negara, sebuah kehilangan yang amat menakutkan adalah kehilangan waktunya sendiri. Tak punya orientasi waktu, ia pun tak tahu sedang menjejak di mana dan mesti melangkah ke mana.

Sejarah dipotong-potong, lalu direkonstruksi sebagai makhluk tak berbentuk yang mendukung kepentingan pendek kekuasaan. Begitulah setiap periode kekuasaan menjadikan sejarah sebagai musuhnya untuk mengangkat rezimnya sebagai masa kini yang membimbing Indonesia ke masa depan yang cerah.

Dan pendidikan diperlakukan sebagai mesin pencetak, mereduksi siswa yang akan menulis masa depan sebagai sumber daya, obyek — dan bukan manusia.

Atau mungkinkah terlalu berlebihan untuk berharap agar negara ini tak menjadi daun yang hanyut di sungai atau batu yang tenggelam?

Agar cukup menjadi manusia yang mampu berenang dan menentukan arahnya?.