Rabu, 03 Maret 2010

Indonesia Unggul, Mungkinkah?

Suara Presiden Yudhoyono menyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta, menggedor kesadaran kita. Untuk keluar dari pusaran arus turbulensi nasional, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan nasional dimana Indonesia bakal bisa setaraf dengan Cina, Malaysia, India, atau Korea Selatan, maka bangsa kita harus menumbuhkan sebuah kultur baru: a culture of excellence di semua bidang kehidupan bangsa baik di panggung negara, pentas ekonomi, maupun arena civil society.

Sesungguhnya, suara serupa sudah lama terdengar di negeri ini setidaknya sejak 20 tahun terakhir, namun cuma melata di lorong-lorong seminar dan pelatihan SDM yang didengungkan antara lain oleh guru-guru keberhasilan anak negeri seperti Soen Siregar, Gede Prama, Rhenald Khasali, Aa Gym, Andrias Harefa, Hermawan Kartajaya, atau Ary Ginanjar. Tetapi kali ini sungguh istimewa: suara itu dikumandangkan dari podium tinggi dengan amplitodo besar oleh kepala negara Presiden Yudhoyono, mahaguru sukses internasional Stephen Covey, dan tokoh pers nasional Jakob Oetama. Maka biarlah telinga semua anak bangsa sudi mendengarnya.

Dalam ceramah selama hampir 200 menit menyusul peluncuran itu, sekitar 2.000 manajer dan eksekutif bisnis negeri ini menyimak takzim petuah Stephen Covey. Di pentas bisnis global Stephen Covey adalah nama yang amat berwibawa – mungkin setara dengan Peter Drucker di bidang manajemen – dan suaranya lebih sering terdengar bagai amar kenabian. Suara waskitanya mampu menjebol tembok kesadaran yang kapalan, mendobrak jeruji batin yang tergembok, membebaskan tenggorokan nurani yang terbekap, lalu menjawab suara otentik panggilan jiwa para pendengarnya. Kata Covey, apabila orang menemukan suaranya dengan menjawab panggilan Suara Agung di hatinya, maka itulah itulah mula keagungan. Dan itu pulalah the beginning of excellence seperti didamba Presiden Yudhoyono.

Jadi, tak ada keunggulan apabila orang pekak terhadap panggilan Suara Tuhan, Suara Rakyat, atau Suara Ibu Pertiwi. Menjadi tegas pula, pondasi segala prestasi-keunggulan-keakbaran adalah spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan akalbudi yang cerah. “Dan semuanya itu harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati [true north principles]”, ujar Covey. Dan sayup-sayup, kita pun mendengar gema tesis Max Weber seratus tahun lalu: apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Dimampatkan, begitulah mula kisah kemajuan negara-negara di belahan Eropa Utara, dan selanjutnya Amerika Serikat, mencapai keunggulan global hingga hari ini, seperti juga disinggung Presiden Yudhoyono dalam pidatonya.

Basis Keunggulan

Diroketkan pada 1983 oleh TJ Peters dan RH Waterman melalui In Search of Excellence, tema keunggulan kemudian mengilhami dan mewarnai hampir semua literatur sukses yang ribuan jumlahnya sejak itu. Peters dan Waterman berkisah tentang pribadi-pribadi unggul yang mengawaki perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti IBM, Boeing, dan General Electric. Antara lain ditekankan pentingnya kedekatan dengan pelanggan, jiwa kewirausahaan, produktivitas SDM, dan motivasi berbasis nilai-nilai luhur.

Sebelum The 8th Habit terbit, Jim Collins dalam Good to Great [2001] menampilkan hasil studinya tentang elemen menjadi great company: kepemimpinan yang profesional namun rendah hati, pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi realita, selalu melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan pilihan teknologi yang pas sebagai akselerator.

Masih bisa ditambahkan bahwa excellence itu digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Apapun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan suatu produk, organisasi, bahkan sebuah bangsa, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya. Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma, novel Bumi Manusia, candi Borobudur, atau pilar Sosrobahu; dan termasuk pesawat A380, jam Rolex, teleskop Hubble, atau sepatu Nike.

Etos Keunggulan

Menilik Indonesia kini, kita pun bertanya: masih adakah energi sisa warga bangsa ini membangun budaya unggul sesudah besar-besaran terkuras oleh pungli dan korupsi, tersedot ketika memerangi penjarahan alam, tersita bagi penyelesaikan konflik-konflik SARA, terhisap saat menangkal kriminalitas dan terorisme, bocor buat mengatasi pertikaian politik, tiris guna membayar warisan hutang dari rezim-rezim sebelumnya, serta menguap tatkala mengatasi gonjang-ganjing harga berbagai komoditas pokok? Banyak yang pesimis, apatis, bahkan sinis.

Namun sejarah memberi perspektif yang menghibur: ternyata bisa! Satu contoh saja. Korea Selatan pernah luluh lantak usai Perang Dunia II, kini tampil gagah di serambi depan bangsa-bangsa maju. Apa rahasianya? Samuel Huntington dalam Culture Matters [2000] memberikan jawaban tegas: budaya! Budaya yang bertumbuh di sana ialah kerja keras, disiplin, berhemat, menabung, dan mengutamakan pendidikan. Itulah akar-akar tunggang pohon excellence yang kita cari-cari itu. Nama lainnya: etos keunggulan.

Harapan lain, modal spiritual [spiritual capital] itu sendiri ternyata menjanjikan ketidakterbatasan. Kapital rohani itu bagai lubuk energi tak berdasar. Dalam biografinya, The Long Walk To Freedom [1994] Nelson Mandela berkata, “Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup tetap tinggi meskipun tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong.” Keyakinan, iman, harapan, tekad, antusiasme itulah berbagai wajah spiritualitas. Inilah the spirit of excellence.

Memang spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya. Dan Presiden Yudhoyono telah menjanjikannya pula: good governance. Dialah kepala tubuh yang pernah berkata: bersama kita bisa! Kini, semboyan itu perlu ditambah bobot menjadi semacam Sumpah Palapa II: Bersama kita harus bisa unggul! Kalau sudah begitu rakyat pun niscaya ikut.

oleh: Jansen H. Sinamo