Kamis, 22 Desember 2011

Sembilan Capaian KTT ke-19 ASEAN

Nusa Dua, Bali: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menutup Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 ASEAN dan KTT Asia Timur pada Sabtu (19/11) sore, di Bali Nusa Dua Convention Center. Perhelatan besar negara-negara Asia Tenggara dan mitra dialog selama tiga hari itu, 17-19 November, usai sudah.

Ada banyak hal yang telah dihasilkan. Sekadar meringkas, berikut adalah sembilan capaian utama keketuaan Indonesia di ASEAN:

PERTAMA:
Langkah-langkah konkret guna memperkuat ketiga pilar Komunitas ASEAN
1. Keberhasilan penguatan langkah-langkah transformasi ASEAN dari sekedar asosiasi menjadi suatu komunitas kerja sama yang
lebih kohesif sejalan dengan visi Komunitas ASEAN 2015.
2. Memastikan kemajuan yang seimbang di antara ketiga pilar dibawah seluruh cetak biru Komunitas ASEAN secara konsisten dan
saling isi-mengisi.
3. KTT ke-19 ASEAN telah menyepakati sejumlah instrumen penting bagi penguatan pilar-pilar Komunitas ASEAN:
- Pembentukan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation;
- Diisepakatinya ASEAN Framework for Equitable Economic Development: Guiding Principles for Inclusive and Sustainable Growth
dan ASEAN Framework for Regional Comprehensive Economic Partnership;
- Keberlanjutan komitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai forum kerja sama yang people-oriented, people-centred, and
people-driven.

KEDUA:
Penguatan Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan
Indonesia terus mendorong langkah-langkah bersama bagi penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, meliputi:
1. Memastikan agar ASEAN Architecture for Economic Integration and Cooperation betul-betul berfungsi dalam menjaga tingkat
pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN.
2. Terus mendorong implementasi The Master Plan on ASEAN Connectivity guna mendukung kerja sama perdagangan intra-
ASEAN.

KETIGA:
Mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif.
1. EAS (East Asia Summit) sebagai forum utama untuk pembahasan isu-isu strategis di kawasan.
2. Pengakuan leaders atas sentralitas ASEAN dalam menata arsitektur kawasan Asia Timur.

KEEMPAT:
Menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara.
1. Kawasan kita masih dihadapkan pada sejumlah tantangan.
2. Selama Keketuaan Indonesia, ASEAN telah mampu mengelola konflik melalui mekanisme dialog:
- isu Thailand-Kamboja;
- isu Laut Cina Selatan;
- menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dimulai kembalinya Six Party Talks;
- kemajuan signifikan dalam SEANWFZ;
- isu maritim dalam ASEAN Maritime Forum (AMF).
3. Memperkuat kemampuan ASEAN mengatasi konflik (conflict resolution) dan meningkatkan capacity building.

KELIMA:
Penguatan peran ASEAN secara global.
1. Peran ASEAN yang lebih besar dalam penanganan masalah-masalah global.
2. Pengesahan Bali Declaration on ASEAN Community in a Global Community of Nations (“Bali Concord III”).
3. Dicapainya Kemitraan Komprehensif antara ASEAN dan PBB.

KEENAM:
Upaya bersama untuk memperkuat ekonomi Asia Timur (Kawasan EAS)
1. KTT Asia Timur sepakati The Declaration of the 6th East Asia Summit on ASEAN Connectivity.
2. Untuk menjadikan ASEAN Connectivity sebagai bagian penting dari kerjasama EAS, maka pada KTT Asia Timur di Bali ini telah
disepakati The Declaration of the 6th East Asia Summit on ASEAN Connectivity.

KETUJUH:
Upaya bersama untuk membangun landasan dan tindakan nyata menangani food, water, and energy security serta climate change.
1. Kerja sama ASEAN:
- Implementasi skema ASEAN – Plus Three Emergency Rice Reserves (APTEER);
- Percepatan realisasi ASEAN Power Grid dan Rencana Aksi ASEAN untuk Kerja Sama Energi (APAEC) 2010-2015.
2. Komitmen ASEAN untuk terus engage dalam pembahasan masalah perubahan iklim di berbagai forum.

KEDELAPAN :
Upaya bersama untuk mengatasi non-traditional security challenges: natural disasters, terrorism, transnational crimes.
1. Peluncuran dan pemafaatan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre).
2. Implementasi ASEAN Convention on Counter-Terrorism dan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime.
3. Dicapainya komitmen untuk membuat suatu mekanisme untuk menangani masalah perompakan di laut.

KESEMBILAN:
Upaya bersama untuk memelihara perdamaian, keamanan dan stabilitas dan ketertiban Kawasan Asia Timur.
1. KTT Asia Timur 2011 mengesahkan The Declaration of the East Asia Summit on the Principles for Mutually Beneficial Relations.

Mengenai keinginan TimorLeste untuk menjadi anggota ASEAN, para pemimpin ASEAN telah bersepakat untuk membentuk ASEAN Coordinating Council Working Group (ACCWG) untuk membahas persoalan ini secara menyeluruh. Indonesia telah secara jelas menyampaikan dukungan penuhnya bagi keanggotaan Timor Leste tersebut.

Sabtu, 17 Desember 2011

Green Economy Sustainable Development and Poverty Eradication




By: Prof. BOEDIONO, B.Sc., M.Ec., Ph.D.

(Vice President of R.I., Great Teacher at UGM, Former Governor of BI., Ph.D. Wharton School, University of Pennsylvania.)

Julukan: The man to get the job done. The silent man.


Keynote Address

the Vice President of the Republic of Indonesia

On the Occasion of the Opening of

TUNZA International Youth and Children Conference 2011

Bandung, 27 September 2011



Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu alaikum Wr Wb



Excellency Mr. Achim Steiner, the Executive Director of UNEP,

Excellency Ministers,

Excellency Ambassadors,

Honorable Governor of West Java,

Honorable Mayor of Bandung,

Distinguished youth and children delegates,

Ladies and gentlemen,



First of all allow me to welcome you to Bandung for the auspicious occasion of Tunza International Children and Youth Conference 2011. It is an honour for me to address such a distinguished audience.



Bandung is a historical city, in which in 1955, leaders from Asian and African countries met in a Conference that upheld the principle of self determination. The importance of this conference is that it inspires the freedom from colonialism.



Today, we are here also for the issue of utmost importance, namely, the environment. It is therefore my fervent hope that the conference will pave the way towards freedom from environmental degradation. Through this conference, we hope to strengthen partnership towards sustainable development.



Excellencies

Ladies and gentlemen,



In a world as beset with environmental challenges as today, the need to improve awareness is undoubtedly paramount. Hence it is a pleasant sight that today I witness the children and youth delegations from all over the world, enthusiastically show not only their awareness but also their commitment to treat the mother earth with care.



Fully conscious the need to conserve the environment for the future generations, it is important to maintain the environmental sustainability. Given the many challenges such as food and energy security, land degradation and climate change, coupled with growing population, the call for fundamental changes in our behaviour and lifestyles become even more pressing.



This is in line with the theme of Tunza Children and Youth Conference 2011, ‘Reshaping Our Future through a Green Economy and Sustainable Lifestyles.



Green economy, in the context of sustainable development and poverty eradication, is the avenue for the aforementioned fundamental changes. Green economy has become the key towards alternative development pathways, in which economic growth is not delivered perforce at the expense of environmental degradation - development pathways that balance the the economic, social and environmental aspects.



In this regard, Indonesia has shown its unswerving tread to follow the sustainable development path that is pro-growth, pro-poor, pro-job and pro-environment. This commitment, as always reiterated by our President, is evident in Indonesia’s leadership in becoming part of the solution to the global problem such as climate change.



Excellencies,

Ladies and gentlemen,



I would also like to note that whereas governments shall be the prime mover of sustainable development strategies, other stakeholders can certainly play significant part in supporting the efforts.



In this regard I put strong emphasize that reshaping our future will require collective vision, creativity, and support from a broad cross-section of society, including the general public.



Therefore, I believe that all present in this august occasion can play a part of the agent of change towards sustainable lifestyles of the world community. This sustainable lifestyles will lay a firm ground on which sustainable development can be achieved.



The United Nations Secretary General, Excellency Mr. Ban Ki Moon has once said that the youth is not only the leaders of tomorrow, but also the partners of today. I would therefore call to my partners, each one of you the youth from all countries, to stand up for a sustainable lifestyle in promoting green economy in the context of sustainable development and poverty eradication.



Only this way we are able to reshape our future for a better tomorrow.



Finally, ladies and gentlemen, I wish you all productive deliberations and fruitful outcome to reflect on, that should lead to the way forward for a sustainable planet as our legacy for the next generations.



Thank you.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.



Bandung, 27 September 2011

Vice President of the Republic of Indonesia





PROF. DR. BOEDIONO, B.SC., M.EC.



Pilihan yang Anda putuskan untuk diri Anda sendiri akan menentukan nasib umat manusia.

Kamis, 15 Desember 2011

Indonesia: Thinking Big Do Local



"Bismillah tuturus laku, muru gapura rahayu, Bangunharja jatining bagja, titi nu luyu saestu, tetep galeuh lelembutan, nyinglar syetan ngusir iblis, di palar setraning rasa, dipamrih surtining ati, melaan ucap jeung lampah, mangsana ngarumat jeung babakti ka nagri tur lemah cai, dina papantunan hirup manut lampahing ibadah sumerah ka Nu Kawasa."
~Karuhun~


Indonesia’s newly published economic master plan sets out ambitious targets to become one of the world’s biggest economies over the next 15 years. The plan unveiled by President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) also put the spotlight on the need for heavy investments in infrastructure coupled with improvement in the investment climate.

On May 27, President Yudhoyono unveiled the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI), which will carry the country through to 2025. It aims to make Indonesia, the 17th largest economy in the world last year, one of the world’s 10 biggest economies by 2025, taking GDP to $4.5trn and increasing the per capita income from $3000 now to $15,000.

To achieve this, the master plan seeks to raise average annual growth to 8-9% between 2015 and 2025, from around 6% now. The MP3EI also sets the target of bringing inflation down from 6% now to 3% by the middle of the next decade.

The plan outlines Rp4000trn ($468.5bn) in investments to be made over the next 14 years, including in infrastructure work. Some Rp544trn ($63.72bn) of government cash has been earmarked for investment to 2025, to be supplemented by Rp836trn ($97.93bn) from state firms.

At the MP3EI launch, Yudhoyono identified 17 projects worth Rp190trn ($22.26bn) in the plan that are expected to start this year, some of which had already been announced. They include hydroelectric and solar power plants; oil palm developments; a steel mill in East Java; new roads including toll motorways; mining projects; expansion of broadband internet; and nickel, cobalt and aluminium factories.

Another major project that the government has pledged to launch this year is the long-awaited Sunda Strait Bridge that would link Java and Sumatra, Indonesia’s most populous islands (and the first and fourth most populous in the world, respectively). The bridge is expected to cost Rp150trn ($17.57bn) and has been subject to planning delays.

While infrastructure and industrial investments have taken most of the headlines, the MP3EI also highlights the importance of moving Indonesia’s economy up the value chain and increasing the level of innovation. Through improving education and boosting school and university attendance, as well as expanding the industrial base, Indonesia aims to develop a more high-tech economy, exporting more tertiary goods and becoming less reliant on commodities, the prices for which have fluctuated greatly over the past five years.

Yudhoyono has acknowledged that Indonesia must first overcome some serious challenges if its vision is to be realised. He identified “five diseases that can make us fail”, including slow bureaucratic processes, conflicting interests in regional government (Indonesia has undergone a process of devolution in recent years), obstructive regulations, broken promises to investors and “unhealthy” political factors.

Despite these challenges, Indonesia has developed into something of an investors’ darling of late, particularly since the economic crisis, which the country weathered remarkably well. The country offers a large and thriving domestic market, access to much of Asia and abundant natural resources.

Business leaders have also drawn attention to the need for a renewed focus on economic reform to enhance the investment climate if growth targets are to be achieved, asserting that the private sector must take the lead in the longer term.

“Foreign direct investment has shown positive increases, demonstrating the level of interest from companies looking to capitalise on the growth of the region,” Mike Gundy, the president-director of BlueScope Steel Indonesia, the local wing of an Australian metals company, told OBG. “However, fiscal incentives and tax holidays are a necessary step if the country is to remain competitive in the region.”

As Yudhoyono noted, red tape is another common complaint cited by investors, and clearing the regulatory thicket around businesses and the limitations on foreign ownership in some sectors would be beneficial.

Indonesia is demonstrably one of the world’s rising economic powers, and has now set the target of shifting up a gear to become one of its very biggest in less than a generation. While public investments will play a crucial part in meeting this goal, a liberated and thriving private sector is the hallmark of an advanced economy.

Source: Oxford Business Group

"Hariwang nyawang Parahiyangan mangsa nu datang, dumareuda medar waruga Sunda nu tereh sirna, ngan ukur ceuk paribasa."

Foto: Di Sungai Cijolang, Bendungan Rendam Bantar Heulang.
Desa Bangunharja Perbatasan dengan Jawa Tengah.
Oleh: Mufa Gunawan dan Ivan Livana.

Selasa, 22 November 2011

Pidato Pembukaan KTT ke-19 ASEAN

PIDATO PEMBUKAAN
PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PADA KOFERENSI TINGKAT TINGGI KE-19 ASEAN


BALI NUSA DUA CONVENTION CENTER
17 NOVEMBER 2011



Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,
Om Swastiastu,

Yang Mulia, para kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara anggota ASEAN,
Yang Mulia, Dr. Surin Pitsuwan, Sekretaris Jenderal ASEAN,
Yang saya hormati, para Pemimpin Lembaga- Lembaga Negara, dan para menteri negara- negara anggota ASEAN,
Yang saya hormati, para Perwakilan Tetap dan Duta Besar untuk ASEAN,
Yang saya hormati, Saudara Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika,

Para anggota delegasi dan hadirin sekalian yang saya muliakan,

Atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia, saya mengucapkan selamat datang, kepada para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, yang datang dari negara-negara anggota ASEAN. Kehadiran Yang Mulia sekalian akan semakin memperkokoh kerja sama di kawasan Asia Tenggara, yang saat ini tengah bergerak maju menuju Komunitas ASEAN 2015.

Dalam kesempatan ini, saya secara pribadi maupun dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN, ingin menyampaikan keprihatinan serta rasa duka yang mendalam atas bencana banjir yang melanda beberapa negara anggota ASEAN. Musibah yang memilukan ini telah menimbulkan kerugian harta benda yang besar, dan bahkan menelan ratusan korban jiwa. Bantuan dan uluran tangan yang telah kita berikan kepada para korban tak lain adalah wujud solidaritas sesama ASEAN.

Selanjutnya, saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas dukungan penuh dan kerja sama dari seluruh negara anggota ASEAN selama masa keketuaan Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan KTT ke-18 ASEAN di Jakarta, dan sama halnya keberhasilan penyelenggaraan SEA Games tahun 2011 di Palembang dan Jakarta adalah berkat dukungan yang diberikan tersebut.

Dengan dukungan tersebut kita telah menghasilkan banyak capaian, sejak diselenggarakannya KTT-18 ASEAN di Jakarta bulan Mei lalu. Saya meyakini, dukungan serupa akan diberikan dalam penyelenggaraan KTT ke-19 di Pulau Bali ini.

Pulau Bali memiliki makna historis yang khusus bagi kerja sama ASEAN, karena di sinilah tercapai beberapa kesepakatan penting, yang menjadi pijakan arah perkembangan kerja sama ASEAN. Pada tahun 1976, telah dilahirkan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang dikenal dengan Bali Concord I. Dokumen tersebut mengatur pola perilaku antar negara anggota, khususnya untuk tidak menggunakan kekerasan dan mengedepankan cara- cara damai. Semangat yang tertuang dalam TAC tersebut telah pula diterima oleh banyak negara non-ASEAN, dan hingga saat ini sebanyak 29 negara telah menjadi negara pihak pada TAC.

Pada tahun 2003, Bali kembali mencatat sejarah dengan dilahirkannya Bali Concord II. Melalui Bali Concord II ini negara-negara ASEAN bersepakat untuk membangun komunitas berdasarkan tiga pilar: pilar politik dan keamanan, pilar ekonomi, dan pilar sosial budaya. Kita bergembira bahwa pasca Bali Concord II, ASEAN kemudian menyepakati ASEAN Charter yang mengukuhkan ASEAN sebagai rule-based organization.

KTT ASEAN kali ini, insya Allah, akan melahirkan Bali Concord III, yang akan memetakan jalan ke depan bagi interaksi komunitas ASEAN dengan komunitas global bangsa-bangsa. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan tradisi kerja sama ASEAN selama ini yang selalu membuka diri terhadap dunia luar, seperti melalui mekanisme dialog ASEAN dengan mitra wicaranya dan forum strategis seperti ARF. Semangat dari Bali Concord III adalah partisipasi dan kontribusi ASEAN yang semakin besar bagi pembangunan dunia yang lebih damai, lebih adil, lebih demokratis dan lebih sejahtera, termasuk peran aktif ASEAN untuk ikut mengatasi berbagai permasalahan fundamental dewasa ini.

Yang Mulia,
Hadirin sekalian,
Kita berkumpul pada saat dunia dihadapkan pada satu proses perubahan yang berdampak luas pada kehidupan umat manusia. Di Timur Tengah dan Afrika Utara transformasi sistem sosial dan politik melalui Arab Spring terus berproses. Sementara itu, dunia pun dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi global baru akibat gejolak keuangan di Eurozone. Kita sama-sama mengikuti bahwa masalah krisis keuangan ini menjadi agenda pembahasan dalam KTT G20 di Cannes dan KTT APEC di Honolulu baru-baru ini. Sementara itu, di samping ketidakpastian baru yang menghantui perekonomian dunia, permasalahan dan tantangan yang fundamental juga masih kita hadapi, seperti ketahanan pangan, energi dan air; perubahan iklim; bencana alam, serta dampak revolusi teknologi informasi pada kehidupan masyarakat kita.

Di tengah ''pancaroba'' ini banyak harapan ditumpukan pada kawasan kita. Sejarah telah menguji dan membuktikan bahwa ASEAN kian menjadi asosiasi yang matang, yang mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan, mampu meningkatkan kekuatan ekonominya, serta mampu menjadi komunitas yang makin people-centered dan mampu pula menjalin kerukunan antar indentitas dan peradaban yang beragam. Dengan modal dan posisi ini, saya percaya ASEAN mampu untuk berkontribusi dalam merespon berbagai dinamika global tersebut. Hal ini sejalan dengan tema Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini: “Komunitas ASEAN di antara Komunitas Global Bangsa-bangsa.” Maknanya, ASEAN ingin berperan lebih besar dalam urusan dunia: to outreach to the world.

Berangkat dari tema ini, saya ingin menggarisbawahi lima hal pokok yang perlu dibahas pada rangkaian kegiatan KTT ke-19 ASEAN dan KTT terkait lainnya.

Pertama, kita perlu melakukan langkah-langkah konkrit guna memperkuat ketiga pilar Komunitas ASEAN. Kita harus memastikan tercapainya seluruh Rencana Aksi di ketiga pilar tercatat secara seimbang dan saling mengisi, sebelum 2015.

Pembangunan Komunitas ASEAN harus terus melibatkan segenap pemangku kepentingan di kawasan. ASEAN harus menjadi komunitas yang people-oriented, people-centered, dan people-driven. Mereduksi makna komunitas ASEAN dengan cara menjadikan asosiasi ini sebagai urusan pemerintahan negara-negara anggota semata, ataupun hanya menitik beratkan pada kerjasama ekonomi, sungguhpun itu penting, adalah keliru.

Kedua, kita perlu memperkuat pertum- buhan ekonomi di kawasan.

Melalui pertumbuhan tersebut, kawasan kita akan lebih tahan (resilient) terhadap volatilitas perekonomian global. Lebih dari itu, daya tahan tersebut akan membuat kita mampu menjadi bagian dari solusi atas krisis keuangan dan ekonomi dunia saat ini. Kita juga akan mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi global yang kuat, serta mampu membuat perekonomian global makin berimbang (more balanced global economy).

Saya bergembira bahwa ASEAN telah memiliki peta jalan untuk menjaga tingkat pertumbuhan, antara lain dengan membangun konektivitas (connectivity) antar negara dan antar kawasan. Kita harus memastikan realisasi dari Master Plan on ASEAN Connectivity. Sama halnya, dalam kerangka nasional, Indonesia juga membangun konekti-vitas melalui MP3EI, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik serta membangun peluang untuk investasi, perdagangan dan penciptaan lapangan pekerjaan.

Dengan keterhubungan yang semakin efektif, maka perdagangan dan investasi antar negara akan meningkat. Tentunya yang kita tuju bersama adalah pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Kita berikan kesempatan yang adil bagi segenap warga kita untuk mendapatkan keuntungan dari semakin terintegrasinya perekonomian kawasan.

Ketiga, kita perlu mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif.

ASEAN harus mampu mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya dalam berinteraksi dengan mitra wicara, dan dalam kesertaan ASEAN di forum-forum intra kawasan.

Kerja sama dengan para mitra ASEAN telah kita kembangkan melalui mekanisme ASEAN Plus Satu, ASEAN Plus Tiga, ASEAN Defense Ministerial Meeting Plus, dan ASEAN Regional Forum maupun mekanisme-mekanisme lainnya.

Sementara itu, dalam pembentukan arsitektur kawasan melalui kerangka East Asian Summit, kita perlu mengidentifikasi prinsip-prinsip bersama yang memandu hubungan seluruh negara peserta EAS. Melalui prinsip-prinsip itulah tata hubungan yang damai dan bersahabat tidak lagi terbatas pada Asia Tenggara, tetapi juga bagi negara-negara pelaku utama di kawasan Asia Timur ini. Kita membentuk East Asia Summit tentu bukan untuk menimbulkan perpecahan, tetapi justru untuk meningkat- kan persatuan dan kebersamaan.

Keempat, kita perlu menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.

ASEAN harus senantiasa bertindak proaktif memfasilitasi dan melibatkan diri dalam penyelesaian berbagai ''residual issues'' yang selama ini menjadi faktor penghambat akselerasi kerja sama ASEAN. Dalam masa Keketuaan Indonesia, ASEAN memfasilitasi dialog damai masalah perbatasan antara Kamboja dan Thailand. Ke depan kita harus terus meningkatkan kapasitas dan kemampuan ASEAN dalam resolusi konflik.

Kita patut bergembira bahwa ASEAN juga mampu membangun comfort zones bagi banyak negara untuk berdialog mengenai isu-isu yang pelik. Sebagai ilustrasi, di sela-sela pertemuan ARF bulan Juli lalu, telah berlangsung pembicaraan antara dua negara bersaudara, Korea Utara dan Korea Selatan.

Selain itu, kesepakatan Guidelines on the Implementation of the Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea antara ASEAN dan RRT telah menumbuhkan optimisme dalam melihat permasalahan di Laut Cina Selatan.

Upaya kita meraih perdamaian dan stabilitas kawasan semakin maju dengan penerimaan negara-negara pemilik senjata nuklir terhadap kerangka kerja sama Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Kita harus memanfaatkan momentum yang sangat baik ini untuk melaksanaan penandatanganan Protokol SEANWFZ sesegera mungkin.

Kelima, dengan melakukan keempat langkah yang saya sebutkan tadi secara bersamaan, maka kita akan memperkuat peran ASEAN secara global.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling kait-mengait, ASEAN sejatinya harus menjadi yang terdepan dalam mengatasi berbagai tantangan yang mencuat. ASEAN tidak boleh hanya menjadi penonton pasif, yang rentan menjadi korban permasalahan di belahan dunia lainnya.

Kita berharap, Deklarasi Bali mengenai Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-bangsa, akan menjadi petunjuk pelaksanaan dan landasan bersama kita, guna meningkatkan kontribusi ASEAN dalam penanganan isu-isu global.

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Itulah agenda dan sasaran utama dalam rangakaian Pertemuan Puncak ASEAN tahun 2011 di Bali, Indonesia ini.

Akhirnya, seraya memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, KTT ke-19 ASEAN dan KTT terkait lainnya saya nyatakan dengan resmi dimulai.


Terima kasih,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kamis, 17 November 2011

Forest Conservation and Food Security




By: Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A.

(Presiden R.I., Lulusan Terbaik AKMIL Magelang, US Army Command & General Staff College, Webster University, Doktor Ekonomi Pertanian IPB)



Keynote Speech at The Forest Indonesia Conference: Alternative Futures to Meet Demands for Food, Fibre, Fuel and REDD+



SPEECH BY PRESIDENT

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

FORESTS INDONESIA CONFERENCE:

ALTERNATIVE FUTURES TO MEET DEMANDS FOR FOOD, FIBRE, FUEL AND REDD+



Bismillahirrahanirrahim,

Your Excellencies Minister Erik Solheim of Norway, and Minister Jim Paice [:jim peis] of the United Kingdom,

Your Honour Ms Frances Seymour, the Director General of CIFOR,

Excellencies Ministers and Ambassadors,

Chiefs of International Organizations,

Distinguished Guests,

Ladies and Gentlemen,



First of all, let me begin by welcoming all of you to this important Conference.



It is indeed an honour and pleasure for me and my Government, to be part of this important meeting. The theme of this conference, “Forest Indonesia: Alternative futures to meet the demands for food, fuel, fiber and REDD+” is very relevant and timely.



For Indonesia, like many other countries blessed with tropical forests, are facing the challenge of sustainably managing its vitally important forest resources.



Hence, let me congratulate the organizers, CIFOR and their partners, for bringing together—under one roof—forest stakeholders, from all over Indonesia and the world. We have among us government officials and representatives of NGOs, civil society as well as the business and academic communities.



We may have different backgrounds, but we all have known the pleasure of resting in the cool shade of a tree.

It would be nice if one day we could organize a conference like this in the open air, protected from the heat of the sun, by the green crown of sturdy trees.



I am glad that this Conference discussion and its outcome will be shared online by audiences worldwide—including the forthcoming COP-17 in Durban, South Africa. This will be an excellent opportunity for us to stress on the importance to walk the talk, and not just talk the talk.



On my part, I will continue my work and dedicate the last three years of my term as President, to deliver enduring results that will sustain and enhance the environment and forests of Indonesia.



Distinguished Guests, Ladies and Gentlemen,

Exactly six months ago, in this same hotel, I spoke before the participants to the Business for the Environment Conference, or B4E conference. During that meeting I dared the business world to think innovatively—to create a balance between gaining economic benefits and ensuring the preservation and sustainability of the global environment.



The aim of today’s meeting, logically, is to build upon the discussions held last April and re-affirm Indonesia''s pioneering role in harnessing forestry to the global effort to address climate change.



Indeed, forests are so dear to my heart, and I am sure all of you also hold it close to your hearts. Forests are so precious because in the first place, if it were not for their air-filtering trees, we would all be breathing in polluted air and living in a much hotter world.



If it weren’t for the shelter and food that forests provide, we would have scarce if any biodiversity at all. And the wonders of the animal world such as the Sumatran tiger, the rhinoceros and the orangutan would have gone extinct a long time ago.



And most importantly, if it weren’t for the benefits that our forests provide, then our way of life, our people, our economy, our environment and our society would be so much poorer.



Hence, the core of my message today is that our success in managing our forests will determine our future and the opportunities that will be available to our children.



And yet, our forests remain under tremendous pressure.



Globally we are facing the challenges of climate change and environmental degradation. Global warming increasingly threatens our livelihood and even our very survival. On top of that, because we are facing another global financial crisis, nations may lose vigour in meeting their environment-related commitments.



As a developing nation, we prioritize the promotion of growth and the eradication of poverty. But we will not achieve these goal by sacrificing our forests. We must attain both development and the management of our forests-- simultaneously.



This is because forest management is tightly intertwined with the livelihood of our people, with our food security, with the availability of wood and fuel. It is also closely linked with climate change.



Therefore we need to take bold initiatives through close collaboration and partnership with all stakeholders.



We must change the way we treat our forests, so that they are conserved even as we drive hard to accelerate our economic growth. We must intensify our efforts to cut down emissions from land use, land use change and forestry exploitation. These factors account for up to 85 percent of Indonesia’s entire greenhouse gas emissions.



I do not want to later explain to my granddaughter Almira, that we, in our time, could not save the forests and the people that depends on it. I do not want to tell her the sad news that tigers, rhinoceroses, and orangutans vanished like the dinosaurs.



And I am sure that none of you would want to deliver such grim news to your children and grandchildren. I am sure that you all want to see that those forests will still be there several decades from now—fascinating us with their beauty and the mysteries they hold. And still providing economic benefits while help stabilize the climate of planet Earth.



And I am also sure that you would like these forests to become our precious legacy for our children.



Ladies and Gentlemen,

Let me now bring up a few questions that are relevant to your discussions in this meeting.



First, at the global level, what would Indonesia''s sustainable forests management efforts mean?

Indonesia’s tropical forests are the third largest in the world – and they are central to our economy, environment and society. Our forests host roughly 12 percent of the world''s mammals, 16 percent of its reptiles and amphibians and 17 percent of all bird species. Over 10,000 species of trees have been recorded across the archipelago. Each year many new species are discovered in Indonesia. This biological gift is intertwined with the rich cultural diversity of Indonesia''s forest.



Forests are the lynchpin to our biodiversity. They are home to bees, bats, birds, insects and other pollinators of the crops we plant. They also help regulate the quality and availability of water for irrigation. Forests provide foods, including seeds, leaves, fruits, roots, gums, mushrooms, and habitat for animals.



Indonesia, home to the third largest tropical forests in the world, views itself as the custodian of these great green treasures; and I want to keep it that way. So we are gathered here to deal collectively with those challenges to our forests.



My next question is then, why is sustainable forest management so important to Indonesia?

The first reason is food security. Indonesia’s 238 million citizens are under pressure of rising commodity prices. The Government of Indonesia is pursuing a programme to increase agricultural and forest productivity, particularly through the cultivation of critical and idle lands. In this regard, we have selected centers of rice production in several provinces throughout Indonesia. Indeed, the sustainability of forests is crucial to an abundant rice harvests.



Secondly, in the area of energy security, our forests are home to potential sources of energy such as micro-hydro, geo-thermal, and bio-energy. We are increasing the portion of alternative sources of energy in our energy-mix. Forest ecosystems offer competitive advantage by making possible the replacement of conventional fuels by renewable energy sources.



Thirdly, Indonesia is a major supplier of fiber. Indonesia’s land availability and the fast-growth of many tree species, supported by favorable tropical climate, have also increased the economic value of our forests.



Fourthly, forests make the terrain more resistant to landslides that threaten many communities. They are vital to efforts at mitigating and adapting to climate change, the impact of which is now being felt all over our archipelago and the rest of the world.



Also, our mangrove forests—the largest in the world—can protect coastal communities from the devastation that can be inflicted by storms and tsunamis. Moreover, mangrove forests serve as nurseries to many fish species that are of great commercial importance—and also crucial to our food security.



Lastly, through our efforts at reducing CO2 emissions, Indonesia can make a significant positive impact on the climate situation. In this regard, although our peat swamp forests are the largest in the world, they have suffered degradation. That has greatly diminished their capacity to reduce CO2 emissions. Restoration is therefore essential.



Hence, it is clear that Indonesia’s forests are of immense value. They offer us a lot of opportunities and benefits.

We therefore need to go into partnership with all stakeholders to sustainably manage our forest resources.



Ladies and Gentlemen,

To ensure the sustainability of our forests while still meeting our development objectives, my Government has given priority to a set of policies and actions to safeguard our forests and ensure their sustainable management.



I made a pledge at the G-20 Summit in Pittsburgh that we in Indonesia will voluntarily reduce our greenhouse gas emissions by 26 percent from business-as-usual levels by 2020. Since then, my Government has carried out many initiatives.



In 2010, we signed a Letter of Intent with the Government of Norway to cut emissions by reducing deforestation and forest degradation. This is known as REDD Plus–a concept that was launched in Bali in 2007.



In May this year, I instituted a two-year moratorium on new licenses to exploit natural primary forest and all peat lands. About two weeks ago, I signed a Decree outlining more than 70 self-funded government programs. This is a demonstration of our commitment to reduce by 26 percent our projected emission in 2020 under a business as usual scenario.



These are groundbreaking steps, but they are not goals in themselves. They are simply measures that give us time and resources, to review and revise land use policy and practice. They also provide opportunity to develop a new sector in our economy—through ecosystem restoration concessions for carbon sequestration and emission reduction.



Apart from the moratorium, we have built indicative maps that are important to the implementation of REDD Plus, and to the formulation of wise policies related to forests. These maps will also facilitate the resolution of decades-long problems of land use and land tenure.



I have also signed a Decree to set up a Task Force for the establishment of a REDD+ agency as stated in the Letter of Intent. We are also developing a national strategy on REDD Plus. The strategy includes elements such as the establishment of REDD+ institutions, the formation of relevant financial mechanisms, monitoring and benefit-sharing. To this end, and to meet the REDD+ expected targets, global funding is necessary.



I am happy to inform you that there are now more than 40 REDD Plus pilot or demonstration projects across Indonesia. This makes us a pioneer in creative ways to address climate change. It also provides us with research insights that will enrich our discussions today, and at the forthcoming global negotiations in COP17 in Durban, South Africa.



Another initiative of ours is the Forest Eleven Forum that we launched four years ago, which has brought together major tropical forest countries. My Government has also pursued bilateral forestry cooperation with several countries.



In the light of international enthusiasm for sustainable forest management, our local stakeholders must also take an active role in this field. I call upon our business leaders, particularly those in the palm oil, pulp wood and mining sectors, to partner with us by enhancing the environmental sustainability of their operations.



Still another initiative is the provision of funding for small and medium enterprises run by forest-edge inhabitants, micro finance programmes for the rural poor and for women, and Local Development Projects (PNPM) for local villages.



At the grassroots level, we have also launched a massive campaign programme to plant one billion trees nation-wide annualy.



It is said that “an apple a day keeps the doctor away.” I would like to say: “A billion trees a year shield the world’s lungs from decay.”



Ladies and Gentlemen,

Despite our modest achievements, I am mindful that these efforts will only take us part of the way towards our emission reduction target.



A long journey still awaits us. We know we must do more, to address the primary sources of our greenhouse emissions, such as illegal logging, forest encroachment, forest and land fires, and peat land drainage. And indeed we are working hard and comprehensively to overcome these challenges.



At the same time, we are mainstreaming all these perspectives and commitments into a special development framework. Our endeavours to effectively protect the environment are reflected in a special 15-year Master Plan to accelerate and expand our economic development. This means that sustainable development is part and parcel of our efforts to boost Indonesia''s economy, so that it will become the 12th largest economy by 2025.



This meeting is of great value to Indonesia. It is a contribution to global efforts at protecting forests, and to the advance of the climate change discourse. I am especially pleased to see many business leaders here today, because they bring decades of experience to the table, and help to shape the future of our nation’s forests. I encourage all of you to forge greater cooperation with international partners.



I ask you to join me in pledging to safeguard this national treasure, for the sake of our children.



As I mentioned earlier, Indonesia, as custodian of one the largest tropical forests of the world, will continue to maintain a pro-environment growth strategy.



The task before us today is to chart a sustainable future for our forests and meet our development objectives. This is not an easy task. But we will pay a much higher price if we do not take up the challenge. By working hard together, we can help guarantee the future of our forests. And the future of our children and grandchildren.



That future begins now.

I thank you

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Shangri-la Hotel, Jakarta, 27-9-2011

Selasa, 01 November 2011

Gerakan Indonesia Gemar Membaca




Jika para tokoh bangsa Indonesia itu menyerap semua pengetahuan dunia seperti itu, bagaimana mungkin mereka tidak menjadi sejajar dengan para tokoh besar dunia?

Jika nanti Ratusan Juta Manusia Indonesia menyerap pengetahuan dari semua manusia-manusia terbesar dunia, bukankah ratusan juta manusia itu juga akan menjadi manusia-manusia yang unggul di dunia?
(Ratusan juta manusia yang akan menyerap semuanya, dari Nabi Muhammad, Napoleon, sampai Kennedy. Dari Leonardo da Vinci, Newton, sampai Einstein. Dari Adam Smith, Rockefeller, sampai Bill Gates. Buku. Membaca). Dan pastikan anak anda senang membaca, dia mungkin juga akan jadi orang besar.
Great Input = Great Mind.

(Eko Laksono)

Senin, 17 Oktober 2011

A Green Economy And Sustainable Lifestyles




Oleh: Prof. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS, Ph.D.

(Doktor dari Universitas Wageningen, Belanda,Berkarier sebagai dosen di Universitas Lambung Mangkurat)



"Treat our planet with care and affection to act for a better world"



Laporan Menteri Negara Lingkungan Hidup

pada

TUNZA International Children and Youth Conference
On the Environment 2011



Jakarta, 27 September 2011





Assalamualaikum wr. wb,

Salam sejahtera bagi kita semua,



Yang terhormat Bapak Wakil Presiden, Prof. DR. Boediono, B.Sc., M.Ec. dan Ibu Herawati Boediono

Yang terhormat Ibu Bapak Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ,

Yang terhormat Direktur Eksekutif UNEP,

Yang mulia Duta Besar Negara Sahabat,

Yang terhormat Gubernur Jawa Barat,

Yang terhormat Walikota Bandung,

Para undangan yang kami hormati,

Para peserta konferensi, anak-anak dan pemuda yang kami cintai dan banggakan,



Para hadirin yang kami hormati,



Perkenankan kami menyampaikan terima kasih atas waktu yang diberikan Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia untuk hadir bersama-sama kita pada hari ini. Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan United Nations Environment Programme (UNEP) menyelenggarakan TUNZA International Children and Youth Conference On the Environment 2011 di Bandung, Jawa Barat tanggal 27 September hingga 1 Oktober 2011. Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada UNEP yang telah memberikan kepercayaan kepada Pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan rumah acara ini. Konferensi ini mendapat dukungan penuh dari kementerian terkait terutama juga bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.



Hal yang menjadi kekhususan adalah hasil dari konferensi ini akan berupa deklarasi yang dinamakan DEKLARASI BANDUNG dan menjadi masukan untuk United Nations Conference on Sustainable Development atau dikenal dengan ”Rio+20″ sebagai posisi generasi muda dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan. Dengan demikian, akan ada dua masukan bagi Rio +20 menyusul Pesan Solo mengenai Kerangka Kerja Kelembagaan Pembangunan Berkelanjutan yang dihasilkan bulan Juli 2011 lalu di Surakarta, Jawa Tengah.



Bapak Wakil Presiden yang kami cintai dan hadirin sekalian,



TUNZA merupakan salah satu program UNEP untuk meningkatkan partisipasi generasi muda dalam isu lingkungan hidup. Penyelenggaraan Tunza yang kelima ini memiliki tema Reshaping Our Future Through A Green Economy And Sustainable Lifestyles. Tujuan konferensi ini adalah untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran generasi muda dunia akan pentingnya Green Economy/Green Lifestyles, Forests, Sustainable Consumption and State of the Global Environment. Selain daripada itu Tunza adalah salah satu strategi diplomasi lingkungan hidup, khususnya mempersiapkan generasi muda untuk kelak memimpin dunia dalam bidang lingkungan hidup. Diharapkan dari kegiatan ini dihasilkan pemuda-pemudi yang dapat mengatasi permasalahan lingkungan global yang terjadi.



Generasi muda merupakan kunci bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Hal ini sesuai dengan definisi pembangunan berkelanjutan itu sendiri, yaitu proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Para generasi muda di seluruh dunia, terutama yang hadir disini akan menjadi pemimpin dunia yang akan memperjuangkan lingkungan hidup. Semua itu dapat dimulai dari gaya hidup yang ramah lingkungan seperti menanam dan memelihara pohon, hemat listrik, hemat air, bersepeda serta memilah sampah. Upaya-upaya yang relatif sederhana dan bisa dilakukan siapapun tersebut dengan dukungan pada tataran kebijakan yang pro lingkungan hidup akan menjadi implementasi konsepsi ekonomi hijau sebagai penopang utama pembangunan berkelanjutan.



Dalam program konferensi Tunza ini, untuk lebih memperkenalkan konsep ekonomi hijau, kami akan mengajak peserta untuk mempelajari lebih dekat beberapa kegiatan pembangunan yang ramah lingkungan seperti pembangkit listrik tenaga geothermal dan air, Integrated Farming dan Taman Hutan Raya.



Bapak Wakil Presiden yang kami cintai dan para hadirin.



Konferensi International Tunza 2011 diikuti oleh 1042 anak dan remaja yang berasal dari 118 negara. Peserta anak yang berusia antara 10-14 tahun berjumlah 472 anak termasuk 133 anak dan pemdamping dari Indonesia. Peserta remaja yang berusia antara 15-25 tahun berjumlah 463 termasuk 196 orang dari Indonesia.



Hal penting yang perlu kami sampaikan adalah bahwa pada konferensi ini, Babakan Siliwangi akan dicanangkan sebagai World City Forest. Pencanangan ini diharapkan dapat menjadi preseden yang akan ditindak-lanjuti di setiap acara Tunza. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan dipilihnya Kota Bandung sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi. Babakan Siliwangi memiliki kesejarahan yang penting bagi warga Kota Bandung dan posisinya yang berada ditengah kota menjadi penjaga keseimbangan lingkungan hidup.



Selain daripada itu, konferensi ini akan dilaksanakan dengan konsep Zero Waste Event, yaitu tidak menimbulkan sampah. Semua sampah akan dipilah dan menjadi bahan baku bagi barang yang bermanfaat sesuai dengan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle). Tunza 2011 ini juga akan menyediakan 150 sepeda yang diharapkan pada akhirnya akan menunjang Urban Eco-Tourism. Sebagai upaya memberikan edukasi dan memperkenalkan budaya Indonesia akan dilaksanakan pula proses pembuatan batik ramah lingkungan, pembuatan wayang dari rumput dan penampilan Angklung serta pesta rakyat. Perlu disampaikan pula bahwa Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu – SIKIB berpartisipasi dalam konferensi ini.



Bapak Wakil Presiden yang kami hormati,



Selanjutnya kami mohon perkenan Bapak Wakil Presiden RI menyampaikan Sambutan Wakil Presiden Republik Indonesia dan membuka secara resmi TUNZA International Children and Youth Conference On the Environment 2011.



Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi semua pihak, baik penyelenggara, peserta dan semua pihak yang terlibat Semoga kebersamaan yang telah terjalin, dapat terus berlangsung di masa-masa yang akan datang.



Wassalammualaikum wr. wb,





Bandung, 27 September 2011

Menteri Negara Lingkungan Hidup,







Prof. Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS



Visit:

1. http://unep.org/tunza/children/

2. http://www.tunza2011.unic-jakarta.org/

3. http://www.unep.org/publications/

4. http://www.menlh.go.id/home/

Rabu, 12 Oktober 2011

Statistic of indonesia

The publication provides general pictures of geographic and climate conditions, government, and key socio-demographic and economic characteristics of Indonesia.

1. Geography and Climate

2. Government

3. Population and Employment

4. Social and Welfare

5. Agricultural (Fishery, Foresty, Farming, etc.)

6. Mining and Energy

7. Manufacturing Industry

8. Construction

9. Hotel and Tourism

10. Transportation and Communication

11. Banking, Investment, External Debt, Insurance and Cooperative

12. Prices

13. Population Expenditure and Food Availability and Consumption

14. Foreign Trade

15. System of National Accounts

16. International Comparison

17. Human Development Index (Statistics of Education)

18. The Future of Indonesia (With Statistical Analysis Method)


I would like to express my high appreciation and gratitude. Hopefully this writing will be a useful resource for any good purposes.


Comments and suggestions to improve the contents of this writing are always welcome.

Kamis, 01 September 2011

Indonesia dan Pembangunan Dunia

Direktur Millennium Project Prof. Jeffrey D. Sachs menyatakan perdamaian dunia tidak akan tercapai tanpa dibarengi pembangunan ekonomi. Karena itu harus ada gerakan internasional untuk memerangi kemiskinan dalam rangka menciptakan perdamaian dunia.

"Tanpa global development, kita tidak mungkin mencapai global security. Karena tidak ada perang terhadap teroris tanpa memerangi kemiskinan," kata Sachs dalam paparannya kepada peserta pertemuan regional tingkat menteri se- Asia Pasifik, yang membahas Millennium Development Goals (MDGs), Kamis (4/8). 

Namun, untuk mencapai tujuan itu negara-negara di kawasan Asia Pasifik menghadapi dua masalah sulit. 

Pertama, tidak ada pendekatan tunggal untuk mencapai MDGs di Asia Pasifik karena konteks spesifik yang ada di masing-masing negara. Seperti perbedaan wilayah geografi, beda kebijakan geopolitik, beda etnis, budaya, dan lain-lain. 

"Harus ada strategi yang sesuai untuk konteks lokal sehingga program-program MDGs bisa mencakup semua dimensi yang dihadapi," kata dia. 

Kedua, luasnya wilayah Asia Pasifik dan dengan posisi silang menyebabkan cakupan program MDGs juga menjadi teramat besar. 

Sumber: Agus Supriyanto

Senin, 01 Agustus 2011

Mengentaskan Kemiskinan



"I was teaching…and feeling helpless. I teach beautiful theories of economics, and people are going hungry. I said, 'Forget about those theories. I'm a human being, I can go and touch another person's life.'"

~Prof. Muhammad Yunus, Ph.D.~

Jumat, 01 Juli 2011

Indonesia yang Cerah



Tidak adil membandingkan INDONESIA dengan negara-negara tetangganya seperti singapore dan malaysia, atau negara-negara lain di dunia ini.

INDONESIA telah berubah dari sebuah negara centralisasi menjadi negara desentralisasi hampir dalam waktu semalam.

INDONESIA telah berubah dari negara diktator menjadi negara demokrasi hampir dalam waktu semalam.

INDONESIA telah berubah menjadi negara liberal dalam waktu semalam.

Tidak ada negara yang bisa melakukannya seperti yang INDONESIA lakukan.

Contoh paling dekat adalah Uni Soviet. Waktu Uni Soviet terpecah, pengalaman nya seperti yang INDONESIA punya.

Dalam kondisi itu, ekonomi Russia mempunyai pertumbuhan yang negative di tahun itu.

Dalam kondisi yang sama, ekonomi INDONESIA tumbuh. Pertumbuhan nya Positive.

Jika saya orang INDONESIA, saya akan bangga dengan pencapaian itu.

Dan saya memprediksi masa depan yang lebih cerah



It is not fair to compare Indonesia with it’s neighboring countries such as Singapore and Malaysia, or any other country in the world in that case.
Indonesia has changed from a totally centralized country to a decentralized country virtually overnight.
Indonesia has changed from a Dictatorship to a Democracy virtually overnight. Indonesia has changed to a liberal country virtually overnight.
No other country has been through what Indonesia has been through virtually overnight. The closest example is the USSR. When the USSR split up,
it experienced similar changes to what Indonesia had, virtually overnight. In that condition, Russia’s economy had a NEGATIVE growth that year.
In that same condition, Indonesia’s Economy GREW. It had POSITIVE growth. If I were an Indonesian, I would be proud of that achievement.
And I would predict a much brighter future

Senin, 06 Juni 2011

Membangun Daya Saing, Tantangan, Pilihan dan Kebijakan


Sumber: Presidential Lecture Prof. B.J. Habibie


Membangun Daya Saing, Tantangan, Pilihan dan Kebijakan, at Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta

Pengembangan diri suatu bangsa menjadi bangsa berteknologi maju merupakan suatu proses transformasi menuju perolehan kualitas baru. Melakukan transformasi teknologi dan industri berarti bergerak ke arah dimensi baru kehidupan bangsa.

Teknologi tidak dapat dimengerti apalagi dikembangkan secara abstrak. Bekerjanya teknologi hanya dapat dipahami melalui usaha penerapannya dalam rangka pemecahan masalah produksi yang kongkrit.

(B.J. Habibie)

"Enam belas tahun sudah industri transportasi Indonesia sebagai salah satu industri strategis lumpuh. Sebanyak 48.000 ahli teknologi Indonesia dibubarkan begitu saja," ungkapnya.

Menurut Habibie, Indonesia sebenarnya sudah memiliki industri-industri strategis seperti PT Dirgantara serta PT PAL yang mampu memproduksi pesawat terbang serta kapal berkelas internasional. Namun, industri-industri strategis tersebut dimatikan secara pelan-pelan sebelum berkembang pesat dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia.

"Kini pintu ekspor dibuka lebar-lebar. Mal-mal yang sebagian besar memasarkan produk-produk luar negeri bertumbuhan. Masyarakat akhirnya justru dididik untuk semakin konsumtif," ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto mengungkapkan, antara tahun 2009 dan 2010 pertumbuhan jumlah kendaraan roda dua meningkat pesat dari 5,8 juta unit menjadi 7,5 juta unit, sedangkan kendaraan roda empat naik dari 486.000 unit menjadi 700.000 unit. Ironisnya, semuanya adalah produk impor.

Menyikapi hal ini, Habibie menegaskan, penguasaan teknologi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Tanpa adanya industri-industri strategis dalam negeri, lapangan pekerjaan dan jam kerja akan sulit tersedia.

Ia mencontohkan, di Indonesia saat ini terdapat 51,2 juta usaha mikro dan kecil atau sekitar 98,9 persen dari total jumlah pelaku usaha. Sementara jumlah usaha kecil sebesar 1,01 persen, usaha menengah 0,08 persen, dan usaha besar 0,01 persen.

Namun, sumbangan produk domestik bruto justru sebagian besar berasal dari usaha besar sebesar 44,4 persen, usaha menengah 13,4 persen, usaha kecil 10,1 persen, serta usaha mikro dan kecil 32,1 persen.

Perkuat industri dalam negeri

Menyikapi keprihatinan ini, Habibie menilai, dengan penguasaan teknologi, produksi usaha mikro dan kecil di Indonesia harus ditingkatkan sehingga memiliki nilai tambah. Karena itu, dibutuhkan produk hukum untuk melindungi pasar domestik, insentif keringanan pajak pada semua produk padat karya, dan pembatasan ketat terhadap produk-produk impor.

Sugiharto menambahkan, sejak tahun 2004 hingga 2010 APBN untuk pengentasan rakyat kemiskinan naik pesat sekitar 500 persen dari Rp 18 triliun menjadi Rp 90 triliun. Akant tetapi, pertumbuhan ini tak berbanding linear dengan penurunan tingkat kemiskinan yang hanya turun sangat kecil dari 16 persen menjadi 13 persen.

"Pemberdayaan sumber daya manusia di Indonesia perlu ditingkatkan daripada sekadar mengandalkan sumber daya alam yang ada. Salah satunya dengan cara pengembangan industri strategis yang diharapkan mampu menumbuhkan lapangan pekerjaan serta nilai tambah produksi," ujarnya.

Tugas Industri Strategis tidak lain adalah menjadi ujung tombak bagi industri-industri yang lain dan direncanakan akan berkembang di bumi Indonesia dalam proses industrialisasi. Strategis yang dimaksud bukanlah dalam arti militer saja, namun juga dalam arti ekonomi. (B.J. Habibie)

Sumber:

1. Presidential Lecture

2. Kompas

3. Institute for Advanced Study at Indonesia

Sabtu, 28 Mei 2011

Presiden Canangkan Peluncuran MP3EI

Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wapres Boediono, Jumat (27/5) pukul 09.00 WIB, menghadiri peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 di Plenary Hall, Jakarta Convention Center. 

Masterplan ini mencakup 22 aktivitas ekonomi utama Indonesia dan merupakan adaptasi serta integrasi dari RPJPN 2002-2025. Setelah peluncuran, akan segera dibentuk tim pelaksana yang langsung diketuai oleh Presiden SBY. 

Tim ini bernama Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Peluncuran MP3EI juga diwarnai dengan dimulainya proyek-proyekgroundbreaking yang pencanangannya dilakukan di 6 koridor ekonomi Indonesia yang akan dipusatkan pada 4 lokasi dengan 17 proyek. 

Yaitu, Kabupaten Sei Mangku (Sumatera Utara), Kabupaten Cilegon (Banten), Kabupaten Lombok Timur (NTB), dan Kabupaten Timika (Papua). Total dana untuk 17 proyek ini adalah Rp 190 triliun, bersumber dari berbagai sumber diantaranya APBN, investasi langsung, swasta, dan BUMN. 

Dalam laporannya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, peluncuran MP3EI didasarkan pada arahan Presiden SBY yang menginginkan dan menekankan pentingnya percepatan dan perluasan ekonomi di tanah air. 

Arahan-arahan tersebut disampaikan SBY pada berbagai retreat yang telah dilaksanakan di waktu lalu. "Presiden menekankan 2 hal, yaitu pentingnya mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi di tanah air secara berkesinambungan, dan perlunya menghilangkan hambatan pembangunan (de-bottlenecking) yang dapat mengganggu kepastian berusaha," Hatta menjelaskan. 

Sementara itu, dalam laporannya juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, peluncuran MP3EI tidak dimaksudkan untuk mengganti rencana pembangunan yang telah ada, melainkan akan berintegrasi dengan dokumen yang ada. 

Penyusunan MP3EI juga dilakukan dengan pendekatan not business as usual. "Pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah tapi juga sektor usaha, swasta, dan masyarakat," kata Armida. Dalam sambutannya, Presiden SBY mengatakan, akan dimulainya pelaksanaan pembangunan 17 proyek tertentu di 6 koridor merupakan bukti bahwa MP3EI bukanlah omongan di atas kertas saja. "Tetapi adalah bukti dan implementasi percepatan dan perluasan pembangunan yang tentu saja akan mencapai tujuan dan sasaran pembangunan," ujar SBY. 

Kepala Negara juga menjelaskan, masterplan diperlukan agar arah, kebijakan, dan strategi jelas adanya. "Ingat yang kita bangun adalah berjangka panjang mencakup ekonomi yang besar, mustahil tanpa masterplan," kata Presiden. 

Selain itu, percepatan dan perluasan ekonomi nasional perlu dilakukan agar ekonomi nasional tumbuh kuat di seluruh tanah air. "Dengan itu, insya Allah kita dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan akan meningkat," SBY menjelaskan. Menurut Presiden, percepatan dan perluasan pembangunan bukan tujuan akhir. Itu merupakan means and ways, tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

"Semuanya mustahil dapat dicapai kalau kita menjalankanbusiness as usual jika tidak ada percepatan dan perluasan pembangunan di Indonesia," Kepala Negara menambahkan. Usai memberi sambutannya, Kepala Negara kemudian mendengarkan laporan dari 4 kepala daerah dari daerah yang dijadikan pusat dari 6 koridor ekonomi melalui video conference. 

Sebelumnya, Dirut PLN Dahlan Iskan yang turut hadir dalam peluncuran MP3EI mengatakan bahwa iklim usaha yang telah diciptakan oleh Kementerian BUMN saat ini sudah cukup baik. Dalam program MP3EI ini, untuk Kabupaten Sei Mangke, Sumut, diantaranya dicanangkan perluasan kawasan industri kelapa sawit dan PLTA. Untuk Kabupaten Cilegon, akan dicanangkan pembangunan pabrik baja modern yang bekerjasama dengan PT Krakatau Steel dan POSCO Korea, dan proyek Floating Storage & Regasification Unit (FSRU). 

Sementara itu, untuk kabupaten Lombok Timur provinsi NTB diantaranya dicanangkan proyek Waduk Pandan Duri dan Bendungan Titab, serta jalur baru penerbangan Garuda Indonesia dari basis bandara Makassar, Sulsel ke 13 kota di Indonesia dan penerbangan langsung ke Singapura. 

Dan, untuk kabupaten Timika provinsi Papua diantaranya dicanangkan proyek jalan raya Timika-Enarotali sepanjang 135 km dengan investasi senilai Rp 600 miliar yang akan dilaksanakan oleh Pemprov Papua dan Pemkab Merauke. Selain itu, juga dicanangkan proyek pembangunan jalan raya dari Merauke-Waropko sepanjang 600 km yang akan membutuhkan dana sebesar Rp 1,2 triliun. 

Terlihat hadir dalam peluncuran MP3EI ini para menteri KIB II antara lain Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi Silalahi, Mendagri Gamawan Fauzi, Menhub Freddy Numberi, dan Seskab Dipo Alam. Hadir pula para gubernur, walikota, dan bupati seluruh Indonesia, KIN dan KEN.

Sumber:

MP3EI

Jumat, 01 April 2011

Membangun Daya Saing








Tahukah Kita?

Ini adalah perbedaan besar antara anak SMA dan Anak Kampus zaman Sukarno-Hatta dengan anak SMA dan anak kampus sekarang.


1. Di masa penjajahan Belanda, seorang anak SMA & anak Kampus (HBS, Hogere Burger School) menguasai 4 bahasa sekaligus, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.


2. Selama tiga tahun masa sekolahnya diwajibkan membaca minimal 25 buku sastra kelas dunia dari 4 bahasa itu.

3. Mereka diwajibkan membuat sekurang-kurangnya 100 tulisan, baik ilmiah maupun karya sastra.

Enam puluh tiga tahun (63) tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di bumi persada ini, dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia kedua, sampai sekarang berjumlah 4,3 juta mahasiswa dengan 155.000 dosen, yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2800 perguruan tinggi swasta.

Dalam interval perjalanan panjang itu perguruan tinggi menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak sama dari masa ke masa. Dan satu pertanyaan mendasar -bisa juga dikatakan sebagai ekspektasi- yang selalu ditanyakan masyarakat adalah:


Apa yang telah dikontribusikan perguruan tinggi untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa ini.?


Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi factor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat; pendidikan tinggi belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri.


Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Tentu banyak juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu.
Apa sebetulnya yang menjadi akar masalah.


1. Apakah akarnya pada paradigma dan legislasi tentang pendidikan tinggi, atau pada implementasinya.?

2. Apakah ini problem kultural/mindset, legasi kolonial dan transisi paradigma pendidikan dari pendidikan Belanda ke Pola pendidikan Amerika yang tidak pernah tuntas.?

3. Apakah komunikasi yang tidak pernah terjadi perguruan tinggi dengan stakeholders, baik pada triple helix, maupun antara program studi dengan program studi, fakultas dengan fakultas, universitas dengan universitas lain.?

Melihat pemindaian sederhana ini, Bagaimana pendidikan tinggi Indonesia ke depan.?


Sumber:

Dikti

This article written at National Technology Institute
Indonesia

Kamis, 03 Februari 2011

Resolusi

Resolusi

L. Wilardjo
Kompas, Senin 2 Januari 2006



Resolusi ialah ketetapan hati
.

Itu adalah kebulatan tekat untuk mengambil sikap, melakukan tindakan, serta menunjukkan perilaku baru yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Lazimnya yang baru ini lebih baik daripada yang dulu.

Tahun Baru sering dipakai untuk menetapkan resolusi bagi diri sendiri. Pada orang-orang yang menjalani hidupnya dengan sadar dan serius, resolusi biasanya didahului oleh perenungan yang mendalam dan doa yang khusyuk. Kita mohon perkenan Tuhan agar kita diberi-Nya kemauan keras dan ketegaran iman untuk mengatasi kelemahan kita. Agar kita tak tergelincir oleh godaan untuk menyimpang dari resolusi kita.

Tekad Nasional

Resolusi juga dapat ditetapkan secara nasional. Presiden JF Kennedy mencanangkan tekat bahwa anak bangsa Amerika akan mencapai bulan sebelum akhir dasawarsa 1960-an. Tekat itu terwujud saat Neil Armstrong dan Edwin Aldrin menapakkan kakinya di bulan tahun 1969.

Sebelumnya, Amerika berkebulatan tekat untuk membuat bom atom lebih dulu dari Jerman. Itu juga tercapai dengan sukses uji coba proyek Manhattan-nya J Robert Oppenheimer di Gurun Alamogordo, menjelang akhir Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik.

Ketika Ronald Reagan mewarisi Amerika yang compang-camping dari Jimmy Carter, ia mencanangkan Proyek Perang Bintang. Dalam kemunduran ekonomi yang parah, pajak justru diturunkan untuk menggerakkan sektor riil. Strategic Defence Initiative (Prakarsa Pertahanan Strategik) yang dijuluki Kartika Yuda (Star Wars) juga memicu kegairahan luar-biasa dalam litbangtek (technological R & D). Maka, Amerika pun mencuat sebagai negara adidaya.

Berusaha Mati-matian

Keberhasilan menggenapi tekat yang telah diikrarkan itu tidak lepas dari kerja keras habis-habisan. Tidak ada ungkapan "panas-panas tahi ayam" bagi bangsa yang besar itu.

Begitu pula dengan semangat bushido dan tekat samurainya, bangsa Jepang menggarap Restorasi Meiji yang dicanangkan di masa bertakhtanya Kaisar Matsuhito.

Jepang tak mau kalah maju dengan Barat. Segala daya dan dana dikerahkan untuk menimba iptek dari Eropa. Dari sebuah negara tertutup yang diwarnai persaingan berdarah di antara para shogun penguasa perang (warlords) yang dijumpai Komodor Perry di dasawarsa awal, abad ke-19, Jepang muncul sebagai negara modern yang sejajar dengan negara-negara Barat yang maju.

Bulan-bulanan Nasib

Menetapkan suatu resolusi dan secara konsisten berusaha mewujudkannya adalah hal yang positif. Ini lebih baik daripada melaksanakan apa yang disebut Lili Tjahyadi sebagai Kebijaksanaan Doris Day (Kompas, 29/12/2005). "Apa pun yang akan terjadi, (pasti) akan terjadi. Kita tak bisa melihat masa depan." (Whatever will be, will be. The future's not ours to see).

Sepintas lalu nyanyian Doris Day ini mengungkapkan kepasrahan orang beriman, tetapi sebenarnya tidak. Doris Day melantunkan fatalisme, yakni sikap menyerah kepada nasib, seperti warga Thebes dalam tragedi-tragedi Sophocles dengan tokoh-tokohnya, Oedipus, Jocasta, Creon, Antigone, dan sebagainya. Banjir bandang dan tanah longsor diterima dengan sabar-tawakal dan tidak membangkitkan kemarahan kepada pembabat hutan yang menggunduli punggung bukit.

Iman harus dicerminkan dalam amal perbuatan. Berserah dalam iman tidak berarti berpangku tangan dan mimpi mendapatkan rezeki nomplok. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak akan terberantas hanya dengan istighotsah dan zikir massal, tanpa dibarengi dengan perjuangan nyata. Dan usaha nyata itu tidak berhenti dengan pencanangan kata-kata, tetapi harus terus-menerus dilakukan dengan konsisten. Bahkan, resolusi yang lebih baru lagi, seperti memberantas KKN dengan semangat "bersama kita bisa", pamornya sudah mulai pudar.

"Restorasi Meiji" yang dilakukan BJ Habibie dengan memajukan iptek, menetapkan industri-industri strategis, membangun kapet-kapet, dan mengirim anak- anak muda yang cerdas ke luar negeri untuk menempuh pendidikan sampai aras S3 tidak berhasil. Mengapa? Antara lain karena tidak ada konsistensi dalam kebijakan pemerintah. Anak-anak muda itu kebanyakan berhasil dalam studinya, tetapi pemanfaatannya amburadul.

Demikian pula kita belum melihat konsistensi dalam tekat untuk menjadikan kelapa sawit sebagai "primadona" agroindustri dan agrobisnis Indonesia. Tekat untuk mengalahkan Malaysia di bidang perkelapasawitan dan untuk memakai produk-produk kelapa sawit sebagai pengentas 50 persen dari rakyat miskin dalam sepuluh tahun juga terancam bernasib "panas-panas tahi ayam".

Dari enam bidang yang telah ditetapkan sebagai fokus penelitian yang akan didanai Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, kelapa sawit tidak disebutkan secara spesifik. Mungkin semua itu karena presiden dan menristeknya sudah ganti.

Ora et Labora

Agaknya di awal tahun 2006 kita perlu memperbarui kebulatan tekat kita sebagai bangsa. Masokisme intelektual yang dikeluhkan Komaruddin Hidayat dan fatalisme yang disiratkan lagu Doris Day harus dihapus dan diganti dengan resolusi yang tegas tetapi realistik, artinya sesuai dengan taraf kemampuan kita.

Resolusi itu juga harus berarti ora et labora (berdoa dan bekerja), dan doa kita seperti doa Donald M McKay: "Oh, Lord, teach us to accept the unalterable, but not to be complacent in the face of the alterable." ("Ya, Allah, ajarlah kami untuk menerima takdir, tetapi tidak berpuas diri menghadapi hal-hal yang dapat diubah.")


Sumber: Kompas Senin, 02 Januari 2006

Senin, 03 Januari 2011

Memacu “Masyarakat Desa” untuk “Berwawasan dan Bertindak Global”

Oleh: Ecep Heryadi

Adalah; Peneliti di International Studies for Peace, Prosperity and Democracy (ISEAC) Jakarta, Analis Politik UIN Jakarta, Alumnus SMUN 1 Banjar.

Di era kebebasan seperti saat ini, setiap orang berhak mendapatkan informasi tanpa dikebiri oleh diferensi status sosial, disparitas kemampuan ekonomi, atau bahkan hierarki kedudukan politis. Semua manusia di bumi mengukuhkan kesederajatannya dalam konteks aksesibilitas informasi. Egalitarianisme arus informasi telah menjadi fundamen penting dalam konstruk zaman yang dikata sebagai “kebebasan informasi global”.

Menilik hal ini, kita sekiranya bisa mafhum dengan segala tindakan yang dilakukan Julian Assange lewat “proyek” Wikileaks-nya. Satu kerangka formil yang menjadi landasan berfikirnya (dari skandal yang menghebohkan itu) bahwa ingin membangun transparansi dan keseteraan dalam akses informasi. Meski apa yang dilakukannya tergolong bentuk “transparansi radikal” dan belum tentu menimbulkan aneka maslahat bagi kontinuitas kehidupan masyarakat global dalam percaturan geo-politis yang kental. Namun melihat upayanya, patut sekiranya kita memberikan setitik apresiasi karena usahanya tersebut dalam membangun kesetaraan akses informasi publik.

Yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini, dengan meminjam contoh kasus Assange tersebut, yakni bahasan mengenai urgensitas ketercapaian keseluruhan masyarakat mengakses informasi, tak terkecuali masyarakat desa. Dengan bantuan teknologi, bukan lagi mustahil setiap warga bangsa di negeri ini bisa menyaksikan jalannya persidangan di ruangan sidang (kecuali yang diagendakan tertutup). Teknologi juga memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi ihwal korupsi, degradasi moral para legislator (dengan “jalan-jalan” keluar negeri disaat bangsa ini tengah dirundung duka), memberikan vonis sosial kepada pihak terduga melakukan hal tak senonoh dan amoral, sampai memberikan dukungan masif bagi Tim Nasional Indonesia yang tampil gemilang dan impresif dalam piala AFF 2010. Intinya dengan bantuan teknologi, masyarakat bisa menjangkau diskursus ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, agama, dalam lingkup lokal, nasional, regional bahkan global.

Dalam sudut pandang itu, pantaslah jika kita menyebut bahwa teknologi informasi memberikan dampak signifikan bagi pencerdasan budaya masyarakat, meningkatkan kesadaran bernegara, dan (tak kalah penting) aksentuasi politik partisipatif dalam ruang demokrasi deliberatif.

Indigenitas bukan suatu penghalang

Data kemiskinan warga Indonesia yang masih nangkring di angka 13,32% atau sekitar 31,02 juta jiwa (BPS, 2010) sehingga berimplikasi pada (salah satunya) adanya sekitar 5.365 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Saudi Arabia yang mengalami persoalan serius (Migrant Care, 2010)—diperkosa, disiksa, tak dibayar gaji, bahkan dibunuh—ternyata berbanding terbalik dengan warga miskin yang menjadi pengguna selular. Paling tidak, data Susenas BPS menunjukkan bahwa adanya peningkatan sangat signifikan pengguna handphone pada rumah tangga tergolong paling miskin yakni sebanyak 500% (2007) meskipun angkanya baru 9,4% warga miskin yang mengakses HP dari keseluruhan penduduk yang menggunakan HP.

Apa yang terjadi dari fenomena unik demikian? Saya ingin mengatakan bahwa indigenitas (tingkat kemelaratan) ternyata bukan suatu penghalang bagi masyarakat miskin untuk mengakses informasi laiknya masyarakat kelas lainnya. Lebih khusus, saya ingin banyak mengeksplorasi segala potensi masyarakat miskin desa yang kerap dipandang marjinal, “difabel” dalam bidang ekonomi, atau madesu (masa depan suram).

Selama ini, yang terframekan dalam pikir mayoritas orang, orang desa (apalagi yang miskin) mustahil akan mampu mengimbangi arus jaman yang lekat dengan penerapan teknologi. Masyarakat desa selalu diasosiasi sebagai sekumpulan makhluk yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan segala bentuk perkembangan teknologi. Bahkan yang terparah, ketika masyarakat desa kerap dianggap sebagai komunalitas penghambat kemajuan zaman—dengan berbagai anutan nilai-nilai budaya yang masih dipegang kuat, sikap apriori sebagian kecil masyarakat desa terhadap teknologi, dsb.

Padahal logika tersebut tak sepenuhnya sempurna. Mungkin iya, khusus untuk masyarakat tertentu yang masih “terisolir”dan tinggalnya nun jauh dipedalaman. Itupun masih ada pengecualian (masyarakat Baduy di Banten misalnya, sekarang sudah ada yang menggunakan HP). Namun tidak bagi mereka yang hidupnya “wajar”, yang berjumlah mayoritas dari jumlah sekitar 31,02 juta yang miskin itu. Mereka rata-rata sudah sampai pada taraf pemahaman bahwa teknologi informasi bisa menunjang langkah dan kehidupannya.

Bersyukur bahwa “indikasi zaman” tersebut bisa ditangkap dengan “tak terputus” oleh industri seluler dan operator penentu tarif selulernya. Sehingga tak mengherankan, tetangga saya ketika masih tinggal di Desa Situbatu, Kota Banjar, yang berpenghasilan pas-pasan pun bisa memiliki 2-3 HP dirumahnya untuk keperluan sang ayah bekerja, anaknya yang sekolah dan ibunya yang stand bye dirumah. Tarif seluler yang sangat terjangkau pun menjadi alasan kuat banyak warga kampung miskin yang “nekad” menggunakan HP. Biaya SMS, calling, MMS, dan bahkan akses internet yang tak jauh beda dengan harga setengah ons terasi membuat mereka seolah asyik-maksyuk dengan euforia harga seluler yang murah-meriah tersebut.

Domino effect dari begitu terjangkaunya harga HP dan tarif seluler berlanjut pada mudahnya akses internet, tak terkecuali bagi pelajar, petani, dan pedagang. Dengan kemudahan tersebut, banyak pelajar dari berbagai tingkatan yang tadinya kesulitan dalam mendapatkan buku-buku penunjang pelajaran bisa diaksesnya lewat internet. Bahkan dengan melimpahnya informasi dari internet, bagi pelajar kreatif, inovatif dan cerdas akan dapat dimaksimalkan dengan, misalnya, mendownload buku-buku penunjang lain (diluar buku utama), mempelajari soal-soal terkait dan mempelajari jawabannya, sampai membuat soal sendiri dan dipecahkannya sendiri sehingga bukan mustahil pengetahuannya sama bahkan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak kota yang sekolahnya dijamin dengan berbagai fasilitas dimulai dari buku-buku lengkap diperpustakaan sekolah, guru berkualitas, koneksitas internet 24 jam, sampai wahana rekreasi sebagai penghilang stress dikala kepenatan belajar menghampiri mereka.

Begitu juga dengan petani yang mampu melihat peluang dari berbagai kemudahan dan kemurahan yang diberikan oleh teknologi. Dengan mengakses internet, mereka akan banyak mendapatkan pengetahuan baru mengenai, misalnya, pemilihan bibit unggul, jenis dan kadar pemberian pupuk untuk jenis tanaman tertentu, porsi pengairan, bahkan perkawinan silang untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan tinggi kuantitasnya, semuanya tersedia di internet. Kendala semisal, kekurangfahaman petani dalam mengimplementasikan berbagai teori atau pembahasan yang didapatkannya dari internet bisa dikomunikasikan dengan berbagai perangkat desa, yang kemudian bisa difollow-up-kan ke jenjang birokrasi terkait di dinas pertanian kecamatan, kabupaten/kota, provinsi atau bahkan langsung kontak ke Departemen Pertanian. Sehingga untuk pengarahan dan perhatian pemerintah (Kementan) selanjutnya bisa diprioritaskan petani-petani yang punya kreatifitas tinggi seperti itu.

Intinya, teknologi sebagai instrumen tergantung dari manusianya sebagai user akan diseperti-apakan. Saya jadi membayangkan, seandainya Lintang (dalam kisah tetralogi “Laskar Pelangi”) yang jenius dan Ikal yang kreatif dan punya tekad kuat untuk sekolah sudah bersentuhan dengan teknologi ketika itu, mungkin bukan Universiteit Sorbonne lagi yang bisa dijamahnya, melainkan Bulan atau bahkan Matahari berbekal imajinya yang liar berpadu dengan keramahan teknologi untuk mewujudkannya. Dan saya yakin negeri ini masih banyak menyimpan orang-orang “seliar” itu, yang meski belum bersentuhan dengan modernitas mereka sudah bisa berkembang dan matang.

Begitu juga dengan pedagang, dengan berbagai kemudahan, kemurahan serta keramahan servis yang diberikan industri seluler memungkinkannya melakukan efisiensi dalam waktu dan biaya (time and cost). Dalam jalinan relasi penjual-pembeli, masing-masing pihak bisa saling berkomunikasi terkait dengan aneka barang yang akan dibeli (terutama dalam jumlah banyak) terlebih dahulu sebelum terjadinya deal. Dengan kehadiran tarif telepon, SMS, MMS bahkan 3G yang murah memungkinkan interkoneksi bisa dilakukan walau jarak memisahkan untuk melihat barang yang akan/sedang ditransaksikan, tawar menawar harga, sampai menentukan diskon. Misalnya, seorang petani yang membutuhkan pupuk bisa menghubungi penjual (agen) pupuk dengan perangkat seluler tanpa harus datang langsung ke kios pupuk tersebut. Dan jika sudah ada kesepakatan, pupuk bisa dikirim ke lokasi si petani sekaligus mengurus masalah pembayaran. Dengan demikian, petani tersebut irit waktu, tenaga dan tak mengeluarkan ongkos (efisiensi biaya).

Intinya, hadirnya teknologi berbiaya murah, yang tak memberatkan masyarakat desa tergolong miskin membuat rantai informasi dan kemudahan-kemudahan lain bisa dirasakan. Dari situ tentu kita berharap maksimalisasi potensi yang mereka miliki bisa tereksplor secara maksimal.

Demokrasi Informasi untuk Global Network Civil Society

Hadirnya koneksi informasi yang mengglobal dengan bantuan teknologi tentunya tak hanya berdampak bagi masyarakat kelas menengah perkotaan, tak terkecuali masyarakat desa yang meninggali wilayah peri-peri. Selain dari informasi yang didapat dari televisi mengenai berbagai hal, mereka pun dapat mengetahui berbagai isu-isu nasional maupun dunia via SMS atau telepon dari saudara, tetangga, atau kerabat lainnya yang pergi merantau ke kota. Bahkan mereka bisa mengetahui kabar keluarga mereka yang sedang menjadi TKI diluar negeri dengan bantuan teknologi.

Kehadiran RT/RW net misalnya, dikota kecil di daerah Jawa Tengah, atau munculnya “desa berbasis internet” sebagaimana amanat dari Declaration of Priciples (DP) dan Plan of Action (PA) meniscayakan sebuah konsep terintegrasinya masyarakat desa ke dalam komunitas virtual global dimana aksesibilitas informasi dari manapun, dan kapanpun bisa dengan mudah didapat (World Summit Information Society, Jenewa, 10 Desember 2003). Mungkin 20 tahun silam tak ada yang mengira seorang petani disebuh desa terpencil bisa ikut teraduk emosinya ketika Barack Obama, yang ia juga tahu pernah tinggal di Indonesia berhasil memenangkan pertarungan menuju White House-1. Atau disaat Israel mendholimi Palestina di Jalur Gaza banyak pula masyarakat lokal yang berniat untuk menjadi relawan bahkan siap mati berjihad di tanah al-Aqsa karena ikatan kesamaan teologis-tauhidiyah. Hal-hal demikian, jelas tak mungkin terjadi tanpa perkembangan teknologi dan terlebih tarif seluler yang bisa mengakses teknologi sudah dalam genggamannya.

Bahkan, mayoritas pemerintahan daerah saat ini sudah banyak yang mempunyai website resmi untuk mengkomunikasi berbagai perkembangan, rencana, dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan manajemen pemerintahan daerah. Di daerah saya misalnya, Kota Banjar, Jawa Barat, masyarakat “melek teknologi” sudah berkembang pesat. Indikasinya bisa dilihat dari animo masyarakat yang berkunjung ke website Pemda Banjar bisa mencapai 30-40% dari total penduduknya. Mereka pun selain bertatap muka langsung dengan walikota, bisa mengeluarkan berbagai unek-unek lewat media website dan jika dirasa penting akan secepatnya direspons oleh pihak Pemda.

Kehadiran berbagai instrumen seperti facebook, twitter, email, google, bahkan youtube sebagai produk dari teknologi komunikasi menjadikan kehidupan masyarakat desa semakin berwarna. Banyak anak-anak desa yang sudah memiliki akun facebook atau twitter sebagai sarana membangun jejaring dan menautkan diri dalam komunitas virtual-global, disadari atau tidak, juga mampu menggiring orang tuanya supaya masuk ke ranah virtual itu. Dari misalnya, seorang anak yang bercerita mempunyai kenalan baru dari Inggris, Malaysia atau Amerika lewat sosial media facebook membuat orang tua yang tertarik ingin mengetahui lebih dalam apa itu facebook (teknologi) dan akhirnya minta dibuatkan akunnya kepada sang anak. Komunikasi masyarakat desa yang masih kental ikatan kekerabatannya memudahkan cerita tentang facebook (dan juga perangkat lainnya) dengan cepat menyebar sehingga mengundang ketertarikan warga yang lain. Akhirnya, melalui suatu tahapan proses, koneksi dan komunikasi yang terjalin antar mereka bukan lagi mouth to mouth, SMS, atau telepon, melainkan via teknologi virtual.

Kondisi demikian, secara pasti akan menggiring masyarakat desa untuk menemukan nuansa baru dalam berkomunikasi, dengan meluaskan pergaulan di ruang maya, mengunjungi banyak website yang sesuai dengan kepentingannya, dsb sehingga tautan atau ikatan virtual mereka secara lebih luas (nasional, global) akan terjalin secara intensif. Dari pergaulan yang semakin luas itulah, dibarengi dengan niat yang baik dalam menjalin hubungan dengan siapapun dibelahan dunia manapun, maka ruang-ruang kesempatan untuk maju akan terbuka lebar. Maka, konsep masyarakat desa berpengetahuan dan berjejaring global bukan mustahil sebentar lagi akan terwujud.

Indonesia memiliki segalanya untuk berkembang dan maju. Berbagai sumber kekayaan dan genius lokal lengkap ditemukan di negeri kaya raya ini. Dari mulai masyarakat yang mempunyai rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan yang tinggi, pluralitas budaya yang harus dijaga, sampai keanekaragaman hayati-hewani yang tak akan habis dicatat. Persoalannya, tinggal bagaimana para pemangku kebijakan (baik pusat maupun daerah) memiliki visi dan kearifan dalam memanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat ditengah arus modernitas dan rongrongan globalisasi.

Membangun kesetaraan, mendulang prestasi secara murah-meriah

Di aras modernitas ini, suatu komunitas civil society sulit berkembang dan bersaing jika menafikan aspek teknologi informasi sebagai substrat komunikasinya. Layanan informasi yang dijual mahal tentu dapat mereduksi kesetaraan akses informasi publik. Berpijak dari itu semua, ditambah era persaingan industri telekomunikasi yang semakin ketat, membuat harga berkomunikasi (selular) semakin murah bak kerupuk goreng. Semakin bervariasinya tarif seluler tentu menggembirakan sekaligus membingungkan bagi masyarakat. Namun, patut kiranya apresiasi diberikan kepada salah satu operator seluler terkemuka Indonesia (XL) yang telah memberikan tarif super murah, yakni sampai 0,01 rupiah. Berbekal tarif termurah itulah (dibandingkan dengan tarif termurah operator lain), yang kemudian menginspirasi judul tulisan ini, dalam kaitannya dengan memacu masyarakat desa mengaksentuasi segala potensi dan kekayaan lokalnya dalam konteks integrasi dengan masyarakat global.

Dengan terbentuknya kesetaraan informasi, rantai disparitas feodalistik maupun kelas sosial lain menjadi terputus kaerna di ruang maya, laiknya orang-orang yang tengah melaksanakan ibadah haji yang mengenakan pakain ihrom sebagai manifestasi kesederajatannya, semua orang berposisi sama. Bahkan, seseorang yang memiliki kedudukan politik dan ekonomi bisa saja dicerca atau mengalami proses delegitimasi sebagai implikasi dari kebijakan dan usahanya yang dianggap nir kepentingan masyarakat. Tengok saja disaat begitu terpojoknya institusi Polri yang ketika itu dituding telah melakukan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra, sehingga mampu membangun dukungan ultracyber dari berbagai kalangan dan profesi di ruang maya (1.000.000 orang dukung pembebasan Bibit-Chandra). Dari situ terlihat bahwa dengan akses teknologi yang semakin masif dan murah berdampak pada nilai kritisisme publik yang semakin terasah.

Setelah terciptanya kesetaraan, minimnya disparitas dalam aksesibilitas teknologi informasi, semakin bertambahnya masyarakat yang masuk dalam komunikasi cyber warga global memudahkan dan membuka jalan masyarakat kita dalam memperkenalkan kekayaan budaya lokal, potensi ekonomi lokal kepada komunitas global. Fasilitas seperti website, blog, bahkan facebook bisa menjadi instrumen masyarakat dalam memperkenalkan produk-produk sesuai dengan keahlian dan potensi yang dipunyai. Masyarakat Banjar misalnya, bisa memperkenalkan aneka kripik dan makanan ringan khas sunda lainnya sebagai ciri khas mereka lewat website pemerintah daerah atau blog pribadi. Bogor yang terkenal sebagai daerah penghasil talas, Tasik dengan kerajinan tangannya (handycraft), atau Garut dengan dodolnya bisa mulai melirik pemasaran melalui intenet sehingga keterjangkauan pasarnya semakin luas. Kehadiran internet, tak syak lagi menjadi semacam etalase tempat memajang berbagai produk atau jasa yang kita tawarkan. Begitu juga, teknologi internet bisa menarik sejumlah investor masuk ke daerah setelah melihat berbagai potensi investasi di suatu daerah tersebut lewat blog, website, dsb.

Memang selalu yang menjadi kendala utamanya ada dua faktor, yakni minimnya fasilitas berikut tenaga ahli, dan bahasa. Namun bukan berarti tak bisa diakali. Untuk kelengkapan fasilitas penunjang, pemerintahan daerah atau inisiatif masyarakat mandiri bisa mencanangkan konsep “masyarakat berbasis internet” yang menyediakan semacam “pusat teknologi” dengan beberapa komputer yang terkoneksi dengan saluran internet. Disana, ditempatkan 1-2 orang yang bisa menjadi tenaga ahli untuk membantu membuatkan website, blog, facebook dan lainnya, sampai stand bye dalam soal pemeliharaan dan berporses dalam memberikan pelatihan-pelatihan sederhana kepada masyarakat desa secara bertahap sampai akhirnya mereka familiar dan tak merasa asing lagi dengan teknologi.

Memang implementasi konsep ini, pada mulanya pasti akan menghadapi berbagai kendala seperti minimnya dana, sebagian masyarakat (apalagi yang miskin) yang bisa saja apriori terhadap teknologi, sampai tak hendak “terganggu” oleh kehadiran teknologi yang dianggapnya bisa menghapus berbagai kearifan lokal. Semua hal tersebut wajar saja. Yang terpenting diterapkan adalah konsistensi melakukan pembimbingan kepada masyarakat, keuletan dan dukungan pemerintah dari tingkat desa sampai birokrasi tertinggi untuk membantu menyukseskan masyarakat desa yang mampu bertindak dan bersikap secara global.

Dalam soal pendidikan juga, peranan teknologi murah begitu signifikan dalam menghadirkan “high knowledge, but low budget” sehingga anak-anak jenius lokal bisa berekspresi dan mengaktualisasi diri dalam menghadapi masifnya gempuran kebudayaan dan persaingan global. Hadirnya perpustakaan online misalnya, yang sangat membantu dalam menyediakan berbagai referensi sesuai dengan bidang yang diminati mendorong anak-anak desa berpengetahuan setara dengan mereka yang bisa mengakses pendidikan lebih baik. Secara empiris menunjukkan, potensi anak-anak daerah yang hidup serba kekurangan dan nir fasilitas dalam menunjang berbagai aktifitas belajarnya justru bisa dikata sangat besar. Maka, bukan sesuatu yang naif ketika Prof. Yohannes Surya mencari bakat anak-anak yang jago dan berminat besar di bidang fisika ke pelosok-pelosok terpencil, termasuk ke pedalaman Papua. Karena banyak sekali anak cerdas yang miskin tak sanggup melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya karena terkendala faktor biaya. Karena disaat yang bersamaan—dalam pandangan penulis—pemerintah masih begitu abai untuk memajukan segala potensi yang ada tersebut.

Sebagai catatan terakhir, jelas sekali hadirnya tarif seluler yang mudah dijangkau (begitu juga tejangkaunya tarif internet) bisa menjadi medium hadir dan mengemukanya berbagai potensi lokal di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan desa di tingkat nasional, dan bahkan global. Tentu harapannya, sinergitas yang terbangun antara operator (swasta), pengambil kebijakan (pemerintah), dan andil masyarakat desa serta keinginannya untuk berkehidupan maju-lah yang akan mendekatkan kita (masyarakat desa) pada situasi “masyarakat desa” yang mampu “berwawasan dan bertindak global” hanya dengan 0,01 rupiah (berbiaya murah).

*Naskah ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis XL Award 2010