Senin, 03 Januari 2011

Memacu “Masyarakat Desa” untuk “Berwawasan dan Bertindak Global”

Oleh: Ecep Heryadi

Adalah; Peneliti di International Studies for Peace, Prosperity and Democracy (ISEAC) Jakarta, Analis Politik UIN Jakarta, Alumnus SMUN 1 Banjar.

Di era kebebasan seperti saat ini, setiap orang berhak mendapatkan informasi tanpa dikebiri oleh diferensi status sosial, disparitas kemampuan ekonomi, atau bahkan hierarki kedudukan politis. Semua manusia di bumi mengukuhkan kesederajatannya dalam konteks aksesibilitas informasi. Egalitarianisme arus informasi telah menjadi fundamen penting dalam konstruk zaman yang dikata sebagai “kebebasan informasi global”.

Menilik hal ini, kita sekiranya bisa mafhum dengan segala tindakan yang dilakukan Julian Assange lewat “proyek” Wikileaks-nya. Satu kerangka formil yang menjadi landasan berfikirnya (dari skandal yang menghebohkan itu) bahwa ingin membangun transparansi dan keseteraan dalam akses informasi. Meski apa yang dilakukannya tergolong bentuk “transparansi radikal” dan belum tentu menimbulkan aneka maslahat bagi kontinuitas kehidupan masyarakat global dalam percaturan geo-politis yang kental. Namun melihat upayanya, patut sekiranya kita memberikan setitik apresiasi karena usahanya tersebut dalam membangun kesetaraan akses informasi publik.

Yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini, dengan meminjam contoh kasus Assange tersebut, yakni bahasan mengenai urgensitas ketercapaian keseluruhan masyarakat mengakses informasi, tak terkecuali masyarakat desa. Dengan bantuan teknologi, bukan lagi mustahil setiap warga bangsa di negeri ini bisa menyaksikan jalannya persidangan di ruangan sidang (kecuali yang diagendakan tertutup). Teknologi juga memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi ihwal korupsi, degradasi moral para legislator (dengan “jalan-jalan” keluar negeri disaat bangsa ini tengah dirundung duka), memberikan vonis sosial kepada pihak terduga melakukan hal tak senonoh dan amoral, sampai memberikan dukungan masif bagi Tim Nasional Indonesia yang tampil gemilang dan impresif dalam piala AFF 2010. Intinya dengan bantuan teknologi, masyarakat bisa menjangkau diskursus ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, agama, dalam lingkup lokal, nasional, regional bahkan global.

Dalam sudut pandang itu, pantaslah jika kita menyebut bahwa teknologi informasi memberikan dampak signifikan bagi pencerdasan budaya masyarakat, meningkatkan kesadaran bernegara, dan (tak kalah penting) aksentuasi politik partisipatif dalam ruang demokrasi deliberatif.

Indigenitas bukan suatu penghalang

Data kemiskinan warga Indonesia yang masih nangkring di angka 13,32% atau sekitar 31,02 juta jiwa (BPS, 2010) sehingga berimplikasi pada (salah satunya) adanya sekitar 5.365 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Saudi Arabia yang mengalami persoalan serius (Migrant Care, 2010)—diperkosa, disiksa, tak dibayar gaji, bahkan dibunuh—ternyata berbanding terbalik dengan warga miskin yang menjadi pengguna selular. Paling tidak, data Susenas BPS menunjukkan bahwa adanya peningkatan sangat signifikan pengguna handphone pada rumah tangga tergolong paling miskin yakni sebanyak 500% (2007) meskipun angkanya baru 9,4% warga miskin yang mengakses HP dari keseluruhan penduduk yang menggunakan HP.

Apa yang terjadi dari fenomena unik demikian? Saya ingin mengatakan bahwa indigenitas (tingkat kemelaratan) ternyata bukan suatu penghalang bagi masyarakat miskin untuk mengakses informasi laiknya masyarakat kelas lainnya. Lebih khusus, saya ingin banyak mengeksplorasi segala potensi masyarakat miskin desa yang kerap dipandang marjinal, “difabel” dalam bidang ekonomi, atau madesu (masa depan suram).

Selama ini, yang terframekan dalam pikir mayoritas orang, orang desa (apalagi yang miskin) mustahil akan mampu mengimbangi arus jaman yang lekat dengan penerapan teknologi. Masyarakat desa selalu diasosiasi sebagai sekumpulan makhluk yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan segala bentuk perkembangan teknologi. Bahkan yang terparah, ketika masyarakat desa kerap dianggap sebagai komunalitas penghambat kemajuan zaman—dengan berbagai anutan nilai-nilai budaya yang masih dipegang kuat, sikap apriori sebagian kecil masyarakat desa terhadap teknologi, dsb.

Padahal logika tersebut tak sepenuhnya sempurna. Mungkin iya, khusus untuk masyarakat tertentu yang masih “terisolir”dan tinggalnya nun jauh dipedalaman. Itupun masih ada pengecualian (masyarakat Baduy di Banten misalnya, sekarang sudah ada yang menggunakan HP). Namun tidak bagi mereka yang hidupnya “wajar”, yang berjumlah mayoritas dari jumlah sekitar 31,02 juta yang miskin itu. Mereka rata-rata sudah sampai pada taraf pemahaman bahwa teknologi informasi bisa menunjang langkah dan kehidupannya.

Bersyukur bahwa “indikasi zaman” tersebut bisa ditangkap dengan “tak terputus” oleh industri seluler dan operator penentu tarif selulernya. Sehingga tak mengherankan, tetangga saya ketika masih tinggal di Desa Situbatu, Kota Banjar, yang berpenghasilan pas-pasan pun bisa memiliki 2-3 HP dirumahnya untuk keperluan sang ayah bekerja, anaknya yang sekolah dan ibunya yang stand bye dirumah. Tarif seluler yang sangat terjangkau pun menjadi alasan kuat banyak warga kampung miskin yang “nekad” menggunakan HP. Biaya SMS, calling, MMS, dan bahkan akses internet yang tak jauh beda dengan harga setengah ons terasi membuat mereka seolah asyik-maksyuk dengan euforia harga seluler yang murah-meriah tersebut.

Domino effect dari begitu terjangkaunya harga HP dan tarif seluler berlanjut pada mudahnya akses internet, tak terkecuali bagi pelajar, petani, dan pedagang. Dengan kemudahan tersebut, banyak pelajar dari berbagai tingkatan yang tadinya kesulitan dalam mendapatkan buku-buku penunjang pelajaran bisa diaksesnya lewat internet. Bahkan dengan melimpahnya informasi dari internet, bagi pelajar kreatif, inovatif dan cerdas akan dapat dimaksimalkan dengan, misalnya, mendownload buku-buku penunjang lain (diluar buku utama), mempelajari soal-soal terkait dan mempelajari jawabannya, sampai membuat soal sendiri dan dipecahkannya sendiri sehingga bukan mustahil pengetahuannya sama bahkan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak kota yang sekolahnya dijamin dengan berbagai fasilitas dimulai dari buku-buku lengkap diperpustakaan sekolah, guru berkualitas, koneksitas internet 24 jam, sampai wahana rekreasi sebagai penghilang stress dikala kepenatan belajar menghampiri mereka.

Begitu juga dengan petani yang mampu melihat peluang dari berbagai kemudahan dan kemurahan yang diberikan oleh teknologi. Dengan mengakses internet, mereka akan banyak mendapatkan pengetahuan baru mengenai, misalnya, pemilihan bibit unggul, jenis dan kadar pemberian pupuk untuk jenis tanaman tertentu, porsi pengairan, bahkan perkawinan silang untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan tinggi kuantitasnya, semuanya tersedia di internet. Kendala semisal, kekurangfahaman petani dalam mengimplementasikan berbagai teori atau pembahasan yang didapatkannya dari internet bisa dikomunikasikan dengan berbagai perangkat desa, yang kemudian bisa difollow-up-kan ke jenjang birokrasi terkait di dinas pertanian kecamatan, kabupaten/kota, provinsi atau bahkan langsung kontak ke Departemen Pertanian. Sehingga untuk pengarahan dan perhatian pemerintah (Kementan) selanjutnya bisa diprioritaskan petani-petani yang punya kreatifitas tinggi seperti itu.

Intinya, teknologi sebagai instrumen tergantung dari manusianya sebagai user akan diseperti-apakan. Saya jadi membayangkan, seandainya Lintang (dalam kisah tetralogi “Laskar Pelangi”) yang jenius dan Ikal yang kreatif dan punya tekad kuat untuk sekolah sudah bersentuhan dengan teknologi ketika itu, mungkin bukan Universiteit Sorbonne lagi yang bisa dijamahnya, melainkan Bulan atau bahkan Matahari berbekal imajinya yang liar berpadu dengan keramahan teknologi untuk mewujudkannya. Dan saya yakin negeri ini masih banyak menyimpan orang-orang “seliar” itu, yang meski belum bersentuhan dengan modernitas mereka sudah bisa berkembang dan matang.

Begitu juga dengan pedagang, dengan berbagai kemudahan, kemurahan serta keramahan servis yang diberikan industri seluler memungkinkannya melakukan efisiensi dalam waktu dan biaya (time and cost). Dalam jalinan relasi penjual-pembeli, masing-masing pihak bisa saling berkomunikasi terkait dengan aneka barang yang akan dibeli (terutama dalam jumlah banyak) terlebih dahulu sebelum terjadinya deal. Dengan kehadiran tarif telepon, SMS, MMS bahkan 3G yang murah memungkinkan interkoneksi bisa dilakukan walau jarak memisahkan untuk melihat barang yang akan/sedang ditransaksikan, tawar menawar harga, sampai menentukan diskon. Misalnya, seorang petani yang membutuhkan pupuk bisa menghubungi penjual (agen) pupuk dengan perangkat seluler tanpa harus datang langsung ke kios pupuk tersebut. Dan jika sudah ada kesepakatan, pupuk bisa dikirim ke lokasi si petani sekaligus mengurus masalah pembayaran. Dengan demikian, petani tersebut irit waktu, tenaga dan tak mengeluarkan ongkos (efisiensi biaya).

Intinya, hadirnya teknologi berbiaya murah, yang tak memberatkan masyarakat desa tergolong miskin membuat rantai informasi dan kemudahan-kemudahan lain bisa dirasakan. Dari situ tentu kita berharap maksimalisasi potensi yang mereka miliki bisa tereksplor secara maksimal.

Demokrasi Informasi untuk Global Network Civil Society

Hadirnya koneksi informasi yang mengglobal dengan bantuan teknologi tentunya tak hanya berdampak bagi masyarakat kelas menengah perkotaan, tak terkecuali masyarakat desa yang meninggali wilayah peri-peri. Selain dari informasi yang didapat dari televisi mengenai berbagai hal, mereka pun dapat mengetahui berbagai isu-isu nasional maupun dunia via SMS atau telepon dari saudara, tetangga, atau kerabat lainnya yang pergi merantau ke kota. Bahkan mereka bisa mengetahui kabar keluarga mereka yang sedang menjadi TKI diluar negeri dengan bantuan teknologi.

Kehadiran RT/RW net misalnya, dikota kecil di daerah Jawa Tengah, atau munculnya “desa berbasis internet” sebagaimana amanat dari Declaration of Priciples (DP) dan Plan of Action (PA) meniscayakan sebuah konsep terintegrasinya masyarakat desa ke dalam komunitas virtual global dimana aksesibilitas informasi dari manapun, dan kapanpun bisa dengan mudah didapat (World Summit Information Society, Jenewa, 10 Desember 2003). Mungkin 20 tahun silam tak ada yang mengira seorang petani disebuh desa terpencil bisa ikut teraduk emosinya ketika Barack Obama, yang ia juga tahu pernah tinggal di Indonesia berhasil memenangkan pertarungan menuju White House-1. Atau disaat Israel mendholimi Palestina di Jalur Gaza banyak pula masyarakat lokal yang berniat untuk menjadi relawan bahkan siap mati berjihad di tanah al-Aqsa karena ikatan kesamaan teologis-tauhidiyah. Hal-hal demikian, jelas tak mungkin terjadi tanpa perkembangan teknologi dan terlebih tarif seluler yang bisa mengakses teknologi sudah dalam genggamannya.

Bahkan, mayoritas pemerintahan daerah saat ini sudah banyak yang mempunyai website resmi untuk mengkomunikasi berbagai perkembangan, rencana, dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan manajemen pemerintahan daerah. Di daerah saya misalnya, Kota Banjar, Jawa Barat, masyarakat “melek teknologi” sudah berkembang pesat. Indikasinya bisa dilihat dari animo masyarakat yang berkunjung ke website Pemda Banjar bisa mencapai 30-40% dari total penduduknya. Mereka pun selain bertatap muka langsung dengan walikota, bisa mengeluarkan berbagai unek-unek lewat media website dan jika dirasa penting akan secepatnya direspons oleh pihak Pemda.

Kehadiran berbagai instrumen seperti facebook, twitter, email, google, bahkan youtube sebagai produk dari teknologi komunikasi menjadikan kehidupan masyarakat desa semakin berwarna. Banyak anak-anak desa yang sudah memiliki akun facebook atau twitter sebagai sarana membangun jejaring dan menautkan diri dalam komunitas virtual-global, disadari atau tidak, juga mampu menggiring orang tuanya supaya masuk ke ranah virtual itu. Dari misalnya, seorang anak yang bercerita mempunyai kenalan baru dari Inggris, Malaysia atau Amerika lewat sosial media facebook membuat orang tua yang tertarik ingin mengetahui lebih dalam apa itu facebook (teknologi) dan akhirnya minta dibuatkan akunnya kepada sang anak. Komunikasi masyarakat desa yang masih kental ikatan kekerabatannya memudahkan cerita tentang facebook (dan juga perangkat lainnya) dengan cepat menyebar sehingga mengundang ketertarikan warga yang lain. Akhirnya, melalui suatu tahapan proses, koneksi dan komunikasi yang terjalin antar mereka bukan lagi mouth to mouth, SMS, atau telepon, melainkan via teknologi virtual.

Kondisi demikian, secara pasti akan menggiring masyarakat desa untuk menemukan nuansa baru dalam berkomunikasi, dengan meluaskan pergaulan di ruang maya, mengunjungi banyak website yang sesuai dengan kepentingannya, dsb sehingga tautan atau ikatan virtual mereka secara lebih luas (nasional, global) akan terjalin secara intensif. Dari pergaulan yang semakin luas itulah, dibarengi dengan niat yang baik dalam menjalin hubungan dengan siapapun dibelahan dunia manapun, maka ruang-ruang kesempatan untuk maju akan terbuka lebar. Maka, konsep masyarakat desa berpengetahuan dan berjejaring global bukan mustahil sebentar lagi akan terwujud.

Indonesia memiliki segalanya untuk berkembang dan maju. Berbagai sumber kekayaan dan genius lokal lengkap ditemukan di negeri kaya raya ini. Dari mulai masyarakat yang mempunyai rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan yang tinggi, pluralitas budaya yang harus dijaga, sampai keanekaragaman hayati-hewani yang tak akan habis dicatat. Persoalannya, tinggal bagaimana para pemangku kebijakan (baik pusat maupun daerah) memiliki visi dan kearifan dalam memanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat ditengah arus modernitas dan rongrongan globalisasi.

Membangun kesetaraan, mendulang prestasi secara murah-meriah

Di aras modernitas ini, suatu komunitas civil society sulit berkembang dan bersaing jika menafikan aspek teknologi informasi sebagai substrat komunikasinya. Layanan informasi yang dijual mahal tentu dapat mereduksi kesetaraan akses informasi publik. Berpijak dari itu semua, ditambah era persaingan industri telekomunikasi yang semakin ketat, membuat harga berkomunikasi (selular) semakin murah bak kerupuk goreng. Semakin bervariasinya tarif seluler tentu menggembirakan sekaligus membingungkan bagi masyarakat. Namun, patut kiranya apresiasi diberikan kepada salah satu operator seluler terkemuka Indonesia (XL) yang telah memberikan tarif super murah, yakni sampai 0,01 rupiah. Berbekal tarif termurah itulah (dibandingkan dengan tarif termurah operator lain), yang kemudian menginspirasi judul tulisan ini, dalam kaitannya dengan memacu masyarakat desa mengaksentuasi segala potensi dan kekayaan lokalnya dalam konteks integrasi dengan masyarakat global.

Dengan terbentuknya kesetaraan informasi, rantai disparitas feodalistik maupun kelas sosial lain menjadi terputus kaerna di ruang maya, laiknya orang-orang yang tengah melaksanakan ibadah haji yang mengenakan pakain ihrom sebagai manifestasi kesederajatannya, semua orang berposisi sama. Bahkan, seseorang yang memiliki kedudukan politik dan ekonomi bisa saja dicerca atau mengalami proses delegitimasi sebagai implikasi dari kebijakan dan usahanya yang dianggap nir kepentingan masyarakat. Tengok saja disaat begitu terpojoknya institusi Polri yang ketika itu dituding telah melakukan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra, sehingga mampu membangun dukungan ultracyber dari berbagai kalangan dan profesi di ruang maya (1.000.000 orang dukung pembebasan Bibit-Chandra). Dari situ terlihat bahwa dengan akses teknologi yang semakin masif dan murah berdampak pada nilai kritisisme publik yang semakin terasah.

Setelah terciptanya kesetaraan, minimnya disparitas dalam aksesibilitas teknologi informasi, semakin bertambahnya masyarakat yang masuk dalam komunikasi cyber warga global memudahkan dan membuka jalan masyarakat kita dalam memperkenalkan kekayaan budaya lokal, potensi ekonomi lokal kepada komunitas global. Fasilitas seperti website, blog, bahkan facebook bisa menjadi instrumen masyarakat dalam memperkenalkan produk-produk sesuai dengan keahlian dan potensi yang dipunyai. Masyarakat Banjar misalnya, bisa memperkenalkan aneka kripik dan makanan ringan khas sunda lainnya sebagai ciri khas mereka lewat website pemerintah daerah atau blog pribadi. Bogor yang terkenal sebagai daerah penghasil talas, Tasik dengan kerajinan tangannya (handycraft), atau Garut dengan dodolnya bisa mulai melirik pemasaran melalui intenet sehingga keterjangkauan pasarnya semakin luas. Kehadiran internet, tak syak lagi menjadi semacam etalase tempat memajang berbagai produk atau jasa yang kita tawarkan. Begitu juga, teknologi internet bisa menarik sejumlah investor masuk ke daerah setelah melihat berbagai potensi investasi di suatu daerah tersebut lewat blog, website, dsb.

Memang selalu yang menjadi kendala utamanya ada dua faktor, yakni minimnya fasilitas berikut tenaga ahli, dan bahasa. Namun bukan berarti tak bisa diakali. Untuk kelengkapan fasilitas penunjang, pemerintahan daerah atau inisiatif masyarakat mandiri bisa mencanangkan konsep “masyarakat berbasis internet” yang menyediakan semacam “pusat teknologi” dengan beberapa komputer yang terkoneksi dengan saluran internet. Disana, ditempatkan 1-2 orang yang bisa menjadi tenaga ahli untuk membantu membuatkan website, blog, facebook dan lainnya, sampai stand bye dalam soal pemeliharaan dan berporses dalam memberikan pelatihan-pelatihan sederhana kepada masyarakat desa secara bertahap sampai akhirnya mereka familiar dan tak merasa asing lagi dengan teknologi.

Memang implementasi konsep ini, pada mulanya pasti akan menghadapi berbagai kendala seperti minimnya dana, sebagian masyarakat (apalagi yang miskin) yang bisa saja apriori terhadap teknologi, sampai tak hendak “terganggu” oleh kehadiran teknologi yang dianggapnya bisa menghapus berbagai kearifan lokal. Semua hal tersebut wajar saja. Yang terpenting diterapkan adalah konsistensi melakukan pembimbingan kepada masyarakat, keuletan dan dukungan pemerintah dari tingkat desa sampai birokrasi tertinggi untuk membantu menyukseskan masyarakat desa yang mampu bertindak dan bersikap secara global.

Dalam soal pendidikan juga, peranan teknologi murah begitu signifikan dalam menghadirkan “high knowledge, but low budget” sehingga anak-anak jenius lokal bisa berekspresi dan mengaktualisasi diri dalam menghadapi masifnya gempuran kebudayaan dan persaingan global. Hadirnya perpustakaan online misalnya, yang sangat membantu dalam menyediakan berbagai referensi sesuai dengan bidang yang diminati mendorong anak-anak desa berpengetahuan setara dengan mereka yang bisa mengakses pendidikan lebih baik. Secara empiris menunjukkan, potensi anak-anak daerah yang hidup serba kekurangan dan nir fasilitas dalam menunjang berbagai aktifitas belajarnya justru bisa dikata sangat besar. Maka, bukan sesuatu yang naif ketika Prof. Yohannes Surya mencari bakat anak-anak yang jago dan berminat besar di bidang fisika ke pelosok-pelosok terpencil, termasuk ke pedalaman Papua. Karena banyak sekali anak cerdas yang miskin tak sanggup melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya karena terkendala faktor biaya. Karena disaat yang bersamaan—dalam pandangan penulis—pemerintah masih begitu abai untuk memajukan segala potensi yang ada tersebut.

Sebagai catatan terakhir, jelas sekali hadirnya tarif seluler yang mudah dijangkau (begitu juga tejangkaunya tarif internet) bisa menjadi medium hadir dan mengemukanya berbagai potensi lokal di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan desa di tingkat nasional, dan bahkan global. Tentu harapannya, sinergitas yang terbangun antara operator (swasta), pengambil kebijakan (pemerintah), dan andil masyarakat desa serta keinginannya untuk berkehidupan maju-lah yang akan mendekatkan kita (masyarakat desa) pada situasi “masyarakat desa” yang mampu “berwawasan dan bertindak global” hanya dengan 0,01 rupiah (berbiaya murah).

*Naskah ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis XL Award 2010