Jumat, 01 April 2011

Membangun Daya Saing








Tahukah Kita?

Ini adalah perbedaan besar antara anak SMA dan Anak Kampus zaman Sukarno-Hatta dengan anak SMA dan anak kampus sekarang.


1. Di masa penjajahan Belanda, seorang anak SMA & anak Kampus (HBS, Hogere Burger School) menguasai 4 bahasa sekaligus, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.


2. Selama tiga tahun masa sekolahnya diwajibkan membaca minimal 25 buku sastra kelas dunia dari 4 bahasa itu.

3. Mereka diwajibkan membuat sekurang-kurangnya 100 tulisan, baik ilmiah maupun karya sastra.

Enam puluh tiga tahun (63) tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di bumi persada ini, dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia kedua, sampai sekarang berjumlah 4,3 juta mahasiswa dengan 155.000 dosen, yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2800 perguruan tinggi swasta.

Dalam interval perjalanan panjang itu perguruan tinggi menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak sama dari masa ke masa. Dan satu pertanyaan mendasar -bisa juga dikatakan sebagai ekspektasi- yang selalu ditanyakan masyarakat adalah:


Apa yang telah dikontribusikan perguruan tinggi untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa ini.?


Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi factor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat; pendidikan tinggi belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri.


Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Tentu banyak juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu.
Apa sebetulnya yang menjadi akar masalah.


1. Apakah akarnya pada paradigma dan legislasi tentang pendidikan tinggi, atau pada implementasinya.?

2. Apakah ini problem kultural/mindset, legasi kolonial dan transisi paradigma pendidikan dari pendidikan Belanda ke Pola pendidikan Amerika yang tidak pernah tuntas.?

3. Apakah komunikasi yang tidak pernah terjadi perguruan tinggi dengan stakeholders, baik pada triple helix, maupun antara program studi dengan program studi, fakultas dengan fakultas, universitas dengan universitas lain.?

Melihat pemindaian sederhana ini, Bagaimana pendidikan tinggi Indonesia ke depan.?


Sumber:

Dikti

This article written at National Technology Institute
Indonesia