Senin, 27 Desember 2010

Indonesia 2030

Asumsi

Untuk mencapai cita-cita dan impian ini, beberapa asumsi harus dapat tercapai, yaitu:

  1. pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 %/tahun (Kita harus dapat meningkatkannya hingga 8%-10% per-tahun)
  2. laju inflasi 4,95 %/tahun
  3. pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 % per-tahun.

Jika seluruh komponen bangsa bekerja sama dengan bersinergi untuk mengelola berbagai keunggulannya seperti sumber daya alam serta menyelesaikan persoalan-persoalan di dalam negeri, maka impian ini pasti akan berhasil. Beberapa persoalan tersebut di antaranya adalah: mewujudkan masyarakat yang beradab dan berkualitas, menciptakan kehidupan masyarakat demokratis, mewujudkan keamanan/kesatuan dan kedamaian, dan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.


Pernyataan dalam visi

Dalam Visi ini dinyatakan bahwa :

  1. perekonomian Indonesia akan menjadi kekuatan nomer 5 di dunia pada tahun 2030 setelah China, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa
  2. jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa,
  3. PDB Indonesia bisa mencapai 5,1 triliun $US.
  4. Pendapatan perkapita US$ 18.000 per tahun

Perbaikan yang Optimis:


Jumlah Penduduk Indonesia lebih baik 300 Jutaan lebih

PDB Indonesia harus bisa mencapai 6-7 Triliun Dolar US.

Dan yang paling penting adalah ketersediaan Proses Pendidikan Seumur Hidup yang hebat



Senin, 20 Desember 2010

Tantangan Ilmuwan Pendidikan

Tantangan Ilmuwan Pendidikan
Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional

Oleh: Doni Koesoema A

KOMPAS.com - Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) menyelesaikan Pertemuan Puncak di Jakarta pada 18 Desember 2010 lalu. Pada kluster pendidikan, kehadiran para ilmuwan memberi harapan sekaligus tantangan.

Kluster pendidikan dalam I-4 berdiri sendiri. Namun, persoalan pendidikan juga dibahas sebagai rekomendasi dalam kluster lain seperti rekomendasi tentang pengembangan jaringan kerja sama, baik untuk riset, publikasi di jurnal ilmiah, maupun pengajaran di universitas.

Sinergi antarilmuwan ini merupakan embusan semangat baru bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Tak hanya praksis di lapangan, tetapi juga riset teoretis yang akan jadi basis bagi praksis pendidikan di Indonesia.

Sinergi antarilmuwan di dalam dan luar negeri memungkinkan tumbuhnya keterikatan batin bagi mereka yang bekerja di luar negeri. Ilmuwan dalam negeri bisa jadi rekan kerja dalam implementasi dan aplikasi riset pendidikan yang dilakukan bersama. Jaringan internasional dibutuhkan bagi pengembangan pendidikan nasional agar bangsa kita mampu terlibat aktif di tingkat global.

Lima rekomendasi

Secara umum rekomendasi kluster pendidikan menegaskan kembali yang selama ini jadi perhatian publik di dalam negeri.

Pertama, pengembangan profesionalisme guru baik dari segi pedagogis maupun teknis.

Kedua, penekanan pada pengajaran yang menyentuh hati, memberi inspirasi, dan merengkuh semua siswa, bukan hanya segelintir anak pandai.

Pendidikan mesti kasih kesempatan semua anak berhasil. Meminjam ungkapan Ken Soetanto: membuat anak buangan jadi rebutan.

Ketiga, pendidikan merupakan sarana perubahan transformasi sosial masyarakat melalui pembentukan karakter, ekselensi akademis, dan keterampilan profesional vokasional.

Keempat, kemitraan dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Kerja sama pengembangan pendidikan mestinya sinergi antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan negara.

Kelima, pemerataan pendidikan baik dalam hal akses dan kualitas didukung oleh infrastruktur yang dirancang untuk pendidikan berkelanjutan dengan kebijakan jangka panjang demi memastikan bahwa semua anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan.

Tantangan ke depan

Berkumpulnya para ilmuwan berkeprihatinan besar pada pendidikan yang tergabung dalam kluster pendidikan I-4 menghadapi beberapa tantangan. Pertama, langkah konkret apa yang mau dilakukan setelah ini?

Para ilmuwan sudah bersedia bersinergi. Mereka bersedia berbagi pemikiran dan jaringan. Akankah ada pangkalan data memetakan siapa, di mana, dan apa kompetensi para ilmuwan? Dapatkah para ilmuwan itu— dengan kompetensinya—memberi sumbangan nyata, entah itu bagi pengambil keputusan untuk memberi pencerahan maupun pemikiran nyata, terutama untuk pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan profesional guru dan evaluasi pendidikan? Apa yang bisa dilakukan ilmuwan pendidikan?

Kedua, selama diskusi muncul sebuah gagasan baru tentang pentingnya memulai gerakan pendidikan. Selama ini reformasi dunia pendidikan selalu mengutamakan aras kelembagaan formal seperti perbaikan dalam evaluasi, pengembangan guru, perbaikan sarana yang bersifat kelembagaan. Padahal, pendidikan adalah urusan semua.

Reformasi pendidikan dalam konteks kelembagaan itu penting. Namun, yang tak kalah penting: membangun kesadaran bersama dalam masyarakat bahwa pendidikan adalah urusan bersama. Sangat penting menularkan gagasan bahwa setiap orang Indonesia yang terdidik perlu mendidik warga negara lain di lingkungannya sesuai kompetensi dan kemampuannya.

Gerakan pendidikan ini penting karena kondisi geografis, demografis, sosial ekonomi, dan kebudayaaan tiap daerah berbeda sehingga usaha menghilangkan buta aksara dan meningkatkan berbagai kecerdasan adalah tanggung jawab setiap warga negara. Konsekuensi gerakan pendidikan ini: setiap warga negara perlu punya pemikiran dan kepekaan mengembangkan pendidikan di lingkungannya.

Berpola pikir mementingkan orang lain jadi penting. Ilmu dan pengetahuan itu untuk dibagikan, bukan dimiliki sendiri. Ketiga, mengingat peran ilmuwan sangat strategis baik bagi kepentingan nasional maupun global, para ilmuwan mesti menyadari bahwa forum seperti ini rawan ditunggangi banyak kepentingan. Maka, para ilmuwan mesti selalu kritis terhadap keberadaan dirinya.

Kompetensi keilmuwanan itu mesti jadi berkat bagi masyarakat Indonesia dan kemanusiaan. Jangan sampai forum sepenting ini ditunggangi kelompok kepentingan yang malah memanfaatkan para ilmuwan demi agenda politiknya sendiri.

Terlepas dari kekurangan di sana sini, saya melihat I-4 sebuah nyala baru bagi perbaikan negeri ini di masa depan. Seperti kata Gellner, di masa depan kemajuan negara akan tergantung dari banyaknya doktor, doctorat d’éta; bukan banyaknya eksekutor, guillotine. Tak peduli Anda doktor dalam negeri atau luar negeri. Yang penting, bisakah Anda bekerja membangun bangsa?

Penulis adalah seorang Konsultan Pendidikan


Minggu, 28 November 2010

Dream Indonesia


Vision 2030

Bersama Kita Bisa

Menjadikan Proses Pendidikan Indonesia Terbaik di Dunia

Best Early Education
(PAUD)

Best K-12 Education


Kamis, 28 Oktober 2010

Kesejahteraan 2045

Indonesia dalam 25-45 Tahun Mendatang Mempunyai GDP 18 Trilliun US Dollar, dengan Zakat yang melimpah dan tertata penuh keadilan hampir tidak ada golongan fafa di negeri ini Indonesia

Selasa, 28 September 2010

Beautiful Mind Project

"Melahirkan Orang-orang Super Genius Indonesia"

Project 1 Juta Guru Profesional

Dalam 30-40 Tahun Mendatang
1 juta Guru dan Dosen di
Indonesia Memperoleh Gelar Doktor

Indonesia memerlukan paling tidak 10,000 orang yang memiliki keahlian “advance In science and technology” sebagai persyaratan dasar sebuah bangsa untuk mengembangkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Sekarang ini baru sekitar 100 orang yang tercatat memiliki keahlian dibidang itu, padahal berdasarkan uji statistik rata rata terdapat seorang genius diantara setiap 10.000 orang di dunia.

Karena Indonesia berpenduduk 300 juta (2030-2040) secara teoritis paling tidak seharusnya terdapat
300,000 orang jenius di Indonesia
!
Sebuah potensi besar untuk menemukan para ahli di bidang
“Advance Science and Technology”.


Beautiful Mind Project


Powered by:

Institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) adalah perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam disiplin ilmu pendidikan khususnya. Sebagian besar fakultas dan jurusan IKIP mencetak mahasiswanya untuk menjadi guru atau tenaga dalam bidang kependidikan lainnya. IKIP dapat berbentuk perguruan tinggi negeri, atau perguruan tinggi swasta.

Sejak akhir dekade 1990-an, sejumlah IKIP Negeri berubah status menjadi "universitas". Jurusannya pun tidak terbatas hanya dalam bidang pendidikan, namun juga merambah ke ilmu murni, teknik, maupun program profesi lainnya.

Berikut adalah IKIP yang telah berganti statusnya menjadi universitas:



Rabu, 18 Agustus 2010

Kunci dari keunggulan Indonesia di Abad ke-21 adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di Abad ke-21, situasinya telah berbeda: Hakikatnya, Indonesia tidak punya musuh, dan tidak ada negara lain yang memusuhi Indonesia. Politik bebas aktif Indonesia kini diabdikan untuk mewujudkan “a million friends, zero enemy”. Abad ke-21 adalah abad keunggulan, dan kunci sukses untuk mencapai itu adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, untuk mengentaskan kemiskinan, untuk memacu pertumbuhan dan produktivitas, dan untuk menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif.

Saudara-saudara, Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa adalah hasil dari suatu kerja besar yang terencana dan berkesinambungan. Sesungguhnya pula merupakan bagian integral yang dinamis dari sebuah peradaban (civilization).Teknologi tidak bisa dimimpikan dan didatangkan begitu saja—bukan seperti membeli barang di supermarket. Mungkin satu dua teknologi bisa dibeli seperti itu—namun tidak untuk mencapai technological society, dan juga knowledge society.

Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi Innovation Nation —BANGSA INOVASI! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif.

Untuk mencapai kondisi seperti itu ada sejumlah hal penting yang harus kita bangun dan lakukan. Pertama, adalah mengubah mindset. Ingatlah, innovation is a state of mind. Inovasi itu adalah suatu semangat, suatu energi, dan suatu etos. Semua fenomena sejarah—apakah itu peradaban Islam, Renaissance di Eropa, Restorasi Meiji di Jepang, tampilnya Amerika sebagai superpower, “the rise of” Cina dan India—semuanya dimulai dengan suatu semangat, dan terbangunnya mindset baru, yang kemudian menghasilkan berbagai inovasi baru, dan yang akhirnya mengakibatkan transformasi besar-besaran.

Karena itulah, kita di Indonesia harus bisa mengembangkan budaya unggul—a culture of excellence—baik di birokrasi, di universitas, maupun di sektor swasta. Sistem dan lingkungan nasional kita harus bisa melahirkan inovator-inovator yang kreatif. Ini semua akan terwujud jika masyarakat kita, kita semua, benar-benar menghargai kerja keras kaum peneliti, ilmuwan, dan inventor.

Mereka harus bisa menjadi ikon masyarakat, dan bukan menjadi catatan pinggir, apalagi hidup tanpa penghormatan, tanpa apresiasi, dan tidak sejahtera. Ilmuwan, peneliti dan inovator harus berada di garis terdepan perubahan nasib bangsa, dan menjadi Pendekar Keunggulan.

Inovasi juga menuntut sikap open-mind dan risk-taking, bukan sikap yang kaku dan dogmatis. Komunitas iptek Indonesia harus berwawasan jauh lebih terbuka dan lebih progresif dari masanya, dan dari masyarakat, untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dalam era globalisasi dewasa ini, Nasionalisme kita dicerminkan bukan dalam tindakan melawan atau menutup diri dari dunia, namun dalam kemampuan untuk menyerap ilmu dan teknologi dari manapun untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Karena itulah, kita bercita-cita agar Indonesia menjadi bagian integral dari komunitas ilmuwan dunia. Kita berharap sebanyak mungkin ilmuwan Indonesia mengadakan riset, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Saya ingin ilmuwan Indonesia bahu membahu dengan ilmuwan internasional, dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kita harus aktif bukan saja menyerap ilmu dari dunia, namun juga menyumbang ilmu untuk dunia. Itulah mindset yang akan mengantarkan kita menjadi Innovation Nation.

Saudara-saudara faktor kedua adalah, selain didukung mindset yang tepat, inovasi juga memerlukan Investasi dan Insentif. Inovasi tidak datang dari langit, namun memerlukan inkubator-inkubator—di lingkungan pemerintah, universitas, perusahaan, dan lain-lain. Mau tidak mau, harus ada sumberdaya dan dana yang cukup, serta program yang berkesinambungan.

Pada awal saya mengemban amanah rakyat, saya menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah – yaitu sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi lebih memadai, dan syukur alhamdullilah pada tahun 2010 dapat kita tingkatkan menjadi Rp 1,9 triliun.

Tentu saja jumlah inipun masih harus terus kita tingkatkan. Namun, perlu diingat, sumberdaya dan dana penelitian dan pengembangan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga mesti dianggarkan oleh dunia usaha yang juga memerlukan inovasi di perusahaannya masing-masing. Pendanaan dari kerjasama internasional juga merupakan alternatif yang makin terbuka.

Sementara itu saya berpandangan, bahwa cara penting untuk membangun inovasi adalah melalui pengembangan enterpreneurship. Kita semua tahu bahwa enterpreneurship identik dengan inovasi, risk-taking, peluang, dan dinamisme. Di Amerika, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura, kita melihat bahwa inovasi tumbuh pesat sejalan dengan merebaknya enterpreneurship. Yang juga penting diingat: kita tidak harus selalu menjadi inventor teknologi baru. Namun kita harus cerdik mencari, menyerap dan mengembangkan teknologi baru untuk pembangunan Indonesia. Bahkan, sering terjadi, pihak yang lebih cerdik mendayagunakan teknologi bisa lebih maju dari pihak yang menemukan teknologi itu sendiri.

Faktor ketiga adalah, kebijakan pemerintah dan kolaborasi. Kalau kita lihat dari bukti-bukti empiris, hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Karena itulah, networking antara inkubator menjadi sangat penting.

Saya mendorong ilmuwan Indonesia untuk menjalin networking dan kolaborasi yang seluas-luasnya dengan lembaga penelitian, lembaga kajian dan universitas manapun di dunia, karena ini adalah kunci sukses bagi masa depan kita. Salah satu ciri Era Globalisasi dewasa ini adalah keniscayaan untuk sebuah knowledge-sharing antar bangsa.

Hadirin sekalian yang saya hormati, Dunia kini boleh dikatakan sedang panen teknologi. Namun perlu diingat, teknologi yang kita cari dan pilih haruslah tetap relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan ke depan. Tantangan itu antara lain adalah : pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan industri, ketangguhan pertahanan dan keamanan negara, serta penguasaan teknologi yang menjemput masa depan.Karena itulah, ke depan, bangsa Indonesia harus makin menguasai teknologi, yang dapat menjawab tantangan-tantangan pokok itu.

Pertama, teknologi untuk mengentaskan kemiskinan–pro-poor technology. Teknologi sering disalah-persepsikan seolah hanya untuk kepentingan industri besar yang canggih saja. Padahal untuk negeri kita juga diperlukan teknologi yang dapat memberdayakan rakyat miskin. Misalnya: telekomunikasi murah untuk desa terpencil, bibit unggul, teknologi air bersih, hidroenergi dan Rumah Sederhana Tahan Gempa.

Kedua, teknologi hijau – green technology. Kita sudah menetapkan target penurunan emisi 26% untuk tahun 2020 dari “business as usual”, dan target ini bisa ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan internasional yang memadai. Untuk itu, kita harus menerapkan pembangunan yang hemat energi (low carbon footprint), meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti geothermal, angin, dan surya, serta meningkatkan teknologi pengawasan hutan, misalnya melalui satelit, untuk mendeteksi hotspot kebakaran hutan.

Saya juga bangga bahwa seorang inovator energi kita, Saudari Tri Mumpuni, telah merintis pembangunan energi mikro-hidro di desa-desa, dan telah mendapatkan pengakuan internasional. Inovasi segar seperti ini harus terus dikembangkan dan disebarkan.

Ketiga, teknologi pangan, yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat kita (food security). Kita memerlukan teknologi pertanian baru untuk mencari bibit unggul, meningkatkan hasil panen, dan melipat-gandakan produktifitas pangan guna mencapai kondisi swasembada, bahkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Saya ingin, pada saatnya nanti Indonesia menjadi “major food producer” di dunia internasional.

Keempat, teknologi industri. Produk-produk industri Indonesia harus bisa menunjang pencapaian 2 aspek penting, yaitu padat teknologi dan padat karya. Kita harus bisa membuat industri kita lebih efisien, lebih produktif dan lebih mempunyai nilai tambah. Kita juga harus mulai mencapai high-end products, menciptakan branding yang dikenal dunia internasional, dan bahkan bisa bersaing dalam aspek desain yang selama ini cenderung didominasi industri negara-negara maju. Hal ini penting karena pada saat ini dan ke depan, industri akan tetap menjadi tulang panggung ekonomi Indonesia.

Kelima, teknologi kesehatan. Kita harus mencari teknologi terkini untuk memerangi penyakit-penyakit menular : apakah itu H5N1, H1N1 dan virus-virus berbahaya lainnya, yang pasti akan terus bermutasi mengancam keluarga kita dan bahkan umat manusia. Virus berbahaya, sama seperti bencana alam, akan menjadi salah satu ancaman paling riil bagi bangsa kita di abad ke-21. Seperti yang kita alami dalam kasus epidemi H1N1 (Swine Flu), Indonesia tidak bisa menangani ancaman ini sendiri, apalagi kalau menyangkut virus yang datang dari luar yang kita tidak mempunyai vaksinnya. Karena itulah, kita harus bekerja-sama dua arah : kita berbagi ilmu dan penemuan dengan dunia kesehatan internasional, sebagaimana kita terus mengharapkan dunia luar berbagi dengan kita.

Keenam, teknologi maritim. Sebagai negara Nusantara, kita harus membangun teknologi kelautan, misalnya untuk konversi air minum atau teknologi perkapalan. Kita juga harus mendapatkan teknologi canggih untuk bisa mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik perikanan, hydrocarbon dan mineral. Saat ini, misalnya, kita belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk melakukan offshore drilling apalagi deep sea drilling. Indonesia secara fisik adalah negara Kepulauan terbesar di dunia, tapi kita belum menjadi negara maritim yang kuat.

Ketujuh, teknologi pertahanan. Disini, TNI harus terus meningkatkan postur dan kapabilitasnya, termasuk penguasaan “revolution in military affairs” (RMA). Kita harus bisa meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi industri pertahanan kita– termasuk melalui joint production dengan industri militer negara-negara lain, serta bentuk kerjasama yang lain. TNI harus meningkatkan kapasitas untuk melakukan military operations other than war (MOOTW), serta kemampuan peace-keeping operation di wilayah-wilayah konflik di dunia.

TNI juga harus mempunyai kemampuan untuk melakukan surveillance dan menjaga pulau-pulau terpencil, wilayah perbatasan dan lautan Nusantara yang terbentang luas. Sementara itu, Polri dan aparat intelijen juga harus terus meningkatkan kemampuan operasionalnya untuk melawan kejahatan trans-nasional, termasuk kelompok teroris yang juga memanfaatkan teknologi yang canggih.

Dan, kedelapan adalah, teknologi masa depan: yaitu nano technology, bio-engineering, genomics, robotics, dan lain-lain. Teknologi-teknologi revolusioner ini tentu tidak sepatutnya hanya didominasi dan dimonopoli negara-negara maju saja. Banyak emerging economies --seperti Cina, India, dan Brazil - yang kini mulai merintis teknologi-teknologi baru ini. Indonesia tidak boleh tertinggal.

Saya senang sekali bahwa Universitas Pelita Harapan (UPH) sudah mulai membangun pusat riset untuk nano-technology. Hadirin sekalian yang saya hormati, Untuk mengembangkan semua ini, dibutuhkan suatu Sistim Inovasi Nasional, yaitu suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang dapat mendorong, mendukung, menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional. Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami transformasi.

Setiap negara mempunyai Sistim Inovasi Nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan Sistem Inovasi Nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini, dalam waktu dekat saya akan membentuk Komite Inovasi Nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, untuk ikut memastikan bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik.

Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi Knowledge Society. Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Marauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya. Dan kita mempunyai hubungan yang baik dengan semua pihak—baik dunia Barat, dunia Islam, negara-negara berkembang, emerging economies, dan lain-lain—yang semuanya dapat menjadi mitra pembangunan Indonesia.

Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk memajukan kehidupan bangsa kita. Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country, adalah dengan memadukan pendekatan sumberdaya alam, iptek dan budaya, atau knowledge-based, resource-based and culture-based development.

Kalau visi ini kelak tercapai, bangsa kita akan mengalami transformasi yang fundamental, menjadi bangsa yang maju dan jaya di Abad ke-21. Mari kita songsong era itu dengan kepercayaan sebagai sebuah bangsa yang penuh inovasi. Insya Allah, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, masa gemilang itu akan datang.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Serpong, 20 Januari 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Rabu, 28 Juli 2010

Pengusaha Masa Depan Indonesia

Visi 2030-2040

Mempunyai 100 Perusahaan Multinasional


100 Perusahaan Asal Indonesia

Masuk Jajaran 600 Perusahaan Top Dunia

Jumat, 28 Mei 2010

Indonesian Super Family Project

Super Family Project

(Pos Pemberdayaan Keluarga)

5 Juta Kepala Keluarga Indonesia

Mandiri, Sehat, dan Sejahtera

Sabtu, 03 April 2010

Revolusi Pengetahuan, Kemiskinan, dan Politik

”Deng Xiao Ping and his allies identified technological progress as key to modernization, a ticket to military power and to economic growth and prosperity” (Oded Shenkar, The Chinese Century, Wharton School Publishing, 2006).

Tulisan ”Iptek, Politik, dan Politisi” (Ninok Leksono, Kompas, 25/2) amat mengena bila diperhatikan program-program dan iklan parpol/politisi di TV dan media lain yang tak pernah menyinggung topik iptek. Acara-acara itu mengesankan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkait masalah-masalah kemiskinan, ledakan penduduk, kesehatan, energi, lingkungan yang rusak, pemanasan bumi, jender, bahkan politik!

Tidakkah sebaiknya para caleg dan capres bersama pimpinan parpol bercita-cita lebih besar dan menjadikan tahun ini awal penciptaan piramida peradaban dan etika baru bangsa demi kehidupan yang bermartabat?

Kurva Maddison

Penelitian sejarawan ekonomi Angus Maddison menghasilkan dua kurva (2001), tentang ”Kemakmuran” manusia serta pertumbuhan penduduk dunia sepanjang 2000 tahun, mencerahkan.

Dari kurva pertama ternyata hampir sepanjang 20 abad, rata-rata manusia sedunia miskin, termasuk orang Eropa. Menjelang abad ke-19, barulah kurva GDP per kapita dunia rata-rata mulai menggeliat ke atas setelah terus mendatar dalam arti miskin, yakni kurang dari 1.000 dollar AS hingga sekitar 6.000 dollar AS tahun 2000 (lihat Tabel). Namun, dari 6.000 dollar AS rata-rata dunia ini, kontribusi terbesar adalah dari Eropa. Rata-rata Eropa sekitar 20.000 dollar AS.

Revolusi pengetahuan

Sejarah perkembangan pengetahuan Eropa sejak akhir periode Renaisans menunjukkan, interaksi dari berbagai cabang ilmu yang terjalin dalam sistem yang kompleks dengan perkembangan sosial dan budaya telah menyebabkan reaksi berantai yang saling mendorong maju.

Namun, banyak ilmuwan sepakat, revolusi sains (Principia Mathematica-nya Newton) abad ke-18, revolusi industri (diawali James Watt penemu mesin uap) abad ke-19, dan revolusi teknologi (dengan berbagai temuan baru) pada abad ke-20, adalah penyebab perubahan drastis kurva Maddison (terjadinya ketiga revolusi dalam sejarah ditandai tiga bulatan hitam dalam Tabel).

Hasil inovasi teknologi baru ini antara lain baterai listrik, telegraf, telepon, lampu Edison akhir abad ke-19, serta mobil, pesawat terbang, TV, komputer, dan material baru pada abad ke-20.

Revolusi teknologi yang berciri kecepatan tinggi dan ketepatan tinggi inilah yang mengefisienkan seluruh sistem ekonomi, sejak tahap input berupa pengadaan keahlian dan bahan baku, lalu tahap pemrosesan produk barang dan jasa, serta distribusi output-nya pada konsumen. Gerak orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk kepentingan perdagangan serta perpindahan uang mengalami kecepatan yang belum pernah dialami manusia. Lahirlah revolusi keempat, revolusi ekonomi, sambil revolusi teknologi terus berlangsung.

Kemiskinan

Selain kurva ekonomi itu, Maddison menghasilkan kurva kedua, yakni pertumbuhan penduduk dunia yang bentuknya menarik karena hampir identik dengan kurva pertama. Dengan menggunakan kurva yang sama (lihat Tabel), ternyata sepanjang 1.800 tahun jumlah penduduk dunia kurang dari 1.000 juta. Baru pada abad ke-19, kurva ini mulai melejit naik mencapai lebih dari 6.000 juta jiwa tahun 2000. Sesudah revolusi sains, industri, dan teknologi (iptek), ternyata jumlah penduduk dunia tumbuh secara fantastis.

Namun, dari 6.000 juta penduduk dunia, 85 persen adalah kontribusi dari penduduk miskin yang masyarakatnya—meminjam istilah Jeffrey Sachs—hanya menjadi technological adaptors (50 persen) dan technologically excluded (35 persen). Pertumbuhan penduduk masyarakat cerdas terkendali, sedangkan pertumbuhan penduduk yang tersisih karena penguasaan teknologi yang rendah sulit dikendalikan. Dari peta teknologi dunia (Sachs, 2002) terbukti di wilayah ini pula masyarakat miskin hidup berdesakan dalam kondisi kesehatan yang rendah.

Dengan informasi yang mengaitkan iptek, kemiskinan, kependudukan, dan ekonomi, kita bertanya bagaimana dengan bangsa Indonesia.

Sejarah kontemporer mengajarkan, kunci keberhasilan bangsa-bangsa Timur—India dan China—yang keduanya miskin, tegas memilih technology based development. Dengan usaha luar biasa dalam menguasai dan mengembangkan iptek, mereka berhasil menghapus ”kemiskinan absolut” dalam waktu singkat dalam jumlah tak terbayangkan. Sejak 1990, India membebaskan 200 juta rakyatnya dari kemiskinan, sedangkan China membebaskan 300 juta orang (Sachs, 2005)!

India mengembangkan teknologi elektronika-mikro, komputer dan komunikasi, yang lazim disebut teknologi informasi. Teknologi ini amat ampuh sehingga selama belasan tahun India tidak perlu membangun prasarana yang amat mahal pada awal pembangunan ekonominya. India mengekspor jasa (consulting) teknologi tinggi via satelit ke negara maju.

Dengan teknologi, India memindahkan banyak jasa keahlian profesional (di kantor, rumah sakit, sekolah, restoran, berbagai perusahaan) dari negara maju ke India, dengan waktu produksi yang sama (real time).

Sedangkan China selain mengutamakan iptek, mereka juga menciptakan konstruksi sosial baru yang mendukung percepatan penguasaan iptek dengan kekuatan hukum dan organisasi masyarakat. China menuntut keterbukaan iptek dalam setiap investasi asing untuk kepentingan alih teknologi (Shenkar). Partai politik dan Pemerintah China berperan besar dalam pembentukan budaya saintifik. Krisis keuangan global tentu berpengaruh pada kedua negara timur ini, tetapi peran teknologi, seperti filsafat Deng Xiao Ping pada awal tulisan ini tidak akan berubah banyak.

Belajar dari Barat, India dan China mengutamakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Indonesia dapat membuat terobosan baru, memanfaatkan momentum politik tahun ini.

Ary Mochtar Pedju:

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI);
Anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia;
Ketua Dewan Encona Inti Industri;
Alumnus ITB dan MIT AS

Rabu, 03 Maret 2010

Indonesia Unggul, Mungkinkah?

Suara Presiden Yudhoyono menyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta, menggedor kesadaran kita. Untuk keluar dari pusaran arus turbulensi nasional, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan nasional dimana Indonesia bakal bisa setaraf dengan Cina, Malaysia, India, atau Korea Selatan, maka bangsa kita harus menumbuhkan sebuah kultur baru: a culture of excellence di semua bidang kehidupan bangsa baik di panggung negara, pentas ekonomi, maupun arena civil society.

Sesungguhnya, suara serupa sudah lama terdengar di negeri ini setidaknya sejak 20 tahun terakhir, namun cuma melata di lorong-lorong seminar dan pelatihan SDM yang didengungkan antara lain oleh guru-guru keberhasilan anak negeri seperti Soen Siregar, Gede Prama, Rhenald Khasali, Aa Gym, Andrias Harefa, Hermawan Kartajaya, atau Ary Ginanjar. Tetapi kali ini sungguh istimewa: suara itu dikumandangkan dari podium tinggi dengan amplitodo besar oleh kepala negara Presiden Yudhoyono, mahaguru sukses internasional Stephen Covey, dan tokoh pers nasional Jakob Oetama. Maka biarlah telinga semua anak bangsa sudi mendengarnya.

Dalam ceramah selama hampir 200 menit menyusul peluncuran itu, sekitar 2.000 manajer dan eksekutif bisnis negeri ini menyimak takzim petuah Stephen Covey. Di pentas bisnis global Stephen Covey adalah nama yang amat berwibawa – mungkin setara dengan Peter Drucker di bidang manajemen – dan suaranya lebih sering terdengar bagai amar kenabian. Suara waskitanya mampu menjebol tembok kesadaran yang kapalan, mendobrak jeruji batin yang tergembok, membebaskan tenggorokan nurani yang terbekap, lalu menjawab suara otentik panggilan jiwa para pendengarnya. Kata Covey, apabila orang menemukan suaranya dengan menjawab panggilan Suara Agung di hatinya, maka itulah itulah mula keagungan. Dan itu pulalah the beginning of excellence seperti didamba Presiden Yudhoyono.

Jadi, tak ada keunggulan apabila orang pekak terhadap panggilan Suara Tuhan, Suara Rakyat, atau Suara Ibu Pertiwi. Menjadi tegas pula, pondasi segala prestasi-keunggulan-keakbaran adalah spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan akalbudi yang cerah. “Dan semuanya itu harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati [true north principles]”, ujar Covey. Dan sayup-sayup, kita pun mendengar gema tesis Max Weber seratus tahun lalu: apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Dimampatkan, begitulah mula kisah kemajuan negara-negara di belahan Eropa Utara, dan selanjutnya Amerika Serikat, mencapai keunggulan global hingga hari ini, seperti juga disinggung Presiden Yudhoyono dalam pidatonya.

Basis Keunggulan

Diroketkan pada 1983 oleh TJ Peters dan RH Waterman melalui In Search of Excellence, tema keunggulan kemudian mengilhami dan mewarnai hampir semua literatur sukses yang ribuan jumlahnya sejak itu. Peters dan Waterman berkisah tentang pribadi-pribadi unggul yang mengawaki perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti IBM, Boeing, dan General Electric. Antara lain ditekankan pentingnya kedekatan dengan pelanggan, jiwa kewirausahaan, produktivitas SDM, dan motivasi berbasis nilai-nilai luhur.

Sebelum The 8th Habit terbit, Jim Collins dalam Good to Great [2001] menampilkan hasil studinya tentang elemen menjadi great company: kepemimpinan yang profesional namun rendah hati, pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi realita, selalu melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan pilihan teknologi yang pas sebagai akselerator.

Masih bisa ditambahkan bahwa excellence itu digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Apapun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan suatu produk, organisasi, bahkan sebuah bangsa, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya. Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma, novel Bumi Manusia, candi Borobudur, atau pilar Sosrobahu; dan termasuk pesawat A380, jam Rolex, teleskop Hubble, atau sepatu Nike.

Etos Keunggulan

Menilik Indonesia kini, kita pun bertanya: masih adakah energi sisa warga bangsa ini membangun budaya unggul sesudah besar-besaran terkuras oleh pungli dan korupsi, tersedot ketika memerangi penjarahan alam, tersita bagi penyelesaikan konflik-konflik SARA, terhisap saat menangkal kriminalitas dan terorisme, bocor buat mengatasi pertikaian politik, tiris guna membayar warisan hutang dari rezim-rezim sebelumnya, serta menguap tatkala mengatasi gonjang-ganjing harga berbagai komoditas pokok? Banyak yang pesimis, apatis, bahkan sinis.

Namun sejarah memberi perspektif yang menghibur: ternyata bisa! Satu contoh saja. Korea Selatan pernah luluh lantak usai Perang Dunia II, kini tampil gagah di serambi depan bangsa-bangsa maju. Apa rahasianya? Samuel Huntington dalam Culture Matters [2000] memberikan jawaban tegas: budaya! Budaya yang bertumbuh di sana ialah kerja keras, disiplin, berhemat, menabung, dan mengutamakan pendidikan. Itulah akar-akar tunggang pohon excellence yang kita cari-cari itu. Nama lainnya: etos keunggulan.

Harapan lain, modal spiritual [spiritual capital] itu sendiri ternyata menjanjikan ketidakterbatasan. Kapital rohani itu bagai lubuk energi tak berdasar. Dalam biografinya, The Long Walk To Freedom [1994] Nelson Mandela berkata, “Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup tetap tinggi meskipun tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong.” Keyakinan, iman, harapan, tekad, antusiasme itulah berbagai wajah spiritualitas. Inilah the spirit of excellence.

Memang spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya. Dan Presiden Yudhoyono telah menjanjikannya pula: good governance. Dialah kepala tubuh yang pernah berkata: bersama kita bisa! Kini, semboyan itu perlu ditambah bobot menjadi semacam Sumpah Palapa II: Bersama kita harus bisa unggul! Kalau sudah begitu rakyat pun niscaya ikut.

oleh: Jansen H. Sinamo

Rabu, 03 Februari 2010

Visi Bangsa Memasuki Abad ke 21

Visi Bangsa Memasuki Abad ke 21

Dr. Onno W. Purbo

Abstrak

Tulisan ini mengupas visi, strategi maupun beberapa usaha taktis, praktis yang terjadi di lapangan untuk mencapai visi bangsa dalam memasuki abad ke 21. Akumulasi visi yang sederhana,

“melihat terbentuknya knowledge based society
di Indonesia”


pada akhirnya mendorong banyak gerakan di tanah air khususnya dalam dunia informasi, komputer & telekomunikasi untuk menggunakan segala kapasitas yang ada untuk mencapai visi di atas.

Terus terang harus di akui penulis bahwa sosok Jonathan Parapak (yang akrab di panggil Pak Parapak) sangat berpengaruh dalam pembentukan visi tersebut, maupun kepada pribadi penulis yang harus diakui pula di kemudian hari menjadi sangat terobsesi oleh visi yang dicanangkan.

Tentunya evaluasi kondisi dan karakteristik komunitas / rakyat yang telah berada di dunia informasi akan menjadi menarik untuk melihat keberhasilan pencapaian visi. Evaluasi terhadap komunitas maya Indonesia di Internet akan di bahas.


Sekelumit Perjalanan Sejarah Sebuah Visi

Masih terkenang di ingatan penulis, sekitar tahun 1997-an pada beberapa kesempatan rapat dan pertemuan di Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (DEPPARPOSTEL) di pimpin langsung oleh Pak Parapak yang saat itu bertugas sebagai Sekretaris Jendral (SEKJEN) mulai mengkonsolidasikan kekuatan yang ada dalam dunia telekomunikasi, komputer & informasi untuk menyatukan kekuatan yang ada untuk kepentingan bangsa Indonesia khususnya dengan semakin berkembangnya teknologi informasi.

Pada saat itu (di tahun 1997-an), Internet sedang gencar-gencarnya naik daun apalagi dengan di dorong oleh Al Gore (wakil presiden Amerika Serikat) yang mencanangkan untuk membangun Global Information Infrastructure (GII) dengan di topang oleh National Information Infrastructure (NII) di masing-masing negara. Di Indonesia, gerakan yang di ayomi antara lain oleh Pak Parapak terjadi proses penyatuan visi mulai menampakan wujudnya dan lebih mengakar ke praktisi di lapangan.

Memang harus di akui bahwa ada beberapa gerakan lain yang sifatnya lebih struktural berbasiskan / berlandaskan Keputusan Presiden (KEPPRES) seperti Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI), maupun BAPPENAS yang berhasil menelurkan utangan Bank Dunia untuk proyek Information Infrastructure Development Project (IIDP) yang jumlah utangnya mencapai ratusan milyard, akan tetapi penulis rasa masih kurang terlalu mengakar pada masyarakat banyak dan kurang terasa dampaknya bagi bangsa ini sampai hari ini.

Gerakan arus bawah ini ternyata cukup di ayomi oleh Pak Parapak yang pada saat itu memimpin Yayasan Litbang Telematika Indonesia (YLTI) dengan direktur eksekutifnya Pak Agus Paryadi. Dengan dana yang sangat terbatas di akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998 (tepatnya bulan Mei 1998), kami berhasilkan menelurkan beberapa konsep taktis implementasi visi pembangunan infrastrktur informasi nasional dalam naungan konsep Nusantara 21. Kerangka konseptual konsep Nusantara 21 yang menjadi landasan visi Nusantara 21 di tulis oleh Bobby Nazief, Krishnahadi Pribadi, Gadang Ramantoko dan penulis sendiri. Semua naskah Nusantara 21 dapat di peroleh dalam bentuk softcopy & di sebarkan secara gratis melalui Internet maupun CDROM untuk menyebarkan kerangka dasar & landasan berpijak gerakan pembangunan National Information Infrastructure (NII).

Visi Nusantara 21 (Mei 1998) tertuang sebagai berikut:

"Menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society)."

Salah satu strategi kunci yang di canangkan dalam kerangka konseptual Nusantara 21 adalah posisi pemerintah yang hanya sebagai fasilitator & berharap semua gerakan yang ada tidak perlu meminjam uang dari Bank Dunia, IMF maupun ADB. Proses pemberdayaan dan pemandaian bangsa menjadi sangat penting dan strategis bagi kelangsungan semua proses yang tertuang dalam konsep Nusantara 21.

Sayang sekali, penulis melihat banyak sekali kepentingan sesaat dari oknum pemerintahan dan swasta yang akhirnya mendorong terbentuknya proyek-proyek berkedokan NII & telematika, sialnya sebagian diambil dari utang negara yang lumayan besar, yang tidak terasa manfaat langsungnya bagi rakyat banyak. Sesuatu yang tidak terlihat pada sosok Jonathan Parapak.

Melihat ini semua & kepentingan bangsa yang lebih besar, pada bulan Februari 2000, akhirnya penulis memutusan untuk pensiun muda dari PNS, dari dosen ITB, tidak bekerja dimana-mana hanya mendedikasikan dirinya untuk memberikan ilmu yang dimilikinya kepada bangsa Indonesia melalui tulisan agar proses transformasi yang dicita-citakan dapat tercapai untuk:

“melihat terbentuknya knowledge based society di Indonesia”

sebuah visi yang lebih sederhana daripada Nusantara 21. Proses pemandaian rakyat dilakuan secara sederhana, melalui buku & artikel di media cetak, pada hari ini tidak kurang dari 20 judul buku sekitar Internet telah di terbitkan kebanyakan oleh Elexmedia Komputindo, dan ribuan tulisan di media cetak. Dampak nyata yang terlihat kasat mata adalah terbentuknya 2000+ warung internet dan perkembangan jumlah pengguna Internet di Indonesia yang mencapai empat (4) juta pengguna di awal tahun 2001 yang praktis swadaya masyarakat tanpa utangan Bank Dunia, IMF maupun ADB.


Sekelumit Nusantara 21

Secara sederhana Visi Nusantara 21 dalam tulisan "Menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society)." dapat di gambarkan seperti gambar terlampir.
Sebagai kerangka kerja Nusantara 21 dapat digambarkan sebagai sebuah kendaraan

Sebagai wahana transformasi masyarakat menjadi masyarakat berbasis pengetahuan, Nusantara-21 dapat dilihat sebagai suatu kerangka kerja (frame-work) yang dinamis sifatnya. Untuk memahami sosok Nusantara-21 sebagai kerangka kerja transformasi ini, kami mencoba menggunakan metafora "kendaraan" seperti terlihat pada gambar di atas. Dalam metafora ini, lingkungan Nusantara-21 terdiri dari kendaraan (aplikasi yang berbasis pengetahuan), roda (jaringan informasi), jalan (infrastruktur komunikasi beserta regulasinya), rambu-rambu (perangkat hukum), tenaga pendorong (sumber daya telekomunikasi & informatika), tenaga penarik (peluang/kebutuhan masa depan).

Dengan menggunakan metafora ini, proses transformasi masyarakat terlihat sebagai suatu proses yang dinamis dengan menggunakan kendaraan yang bergerak mencapai tujuannya melalui jalan yang dilengkapi rambu-rambu lalu lintas untuk menjamin arah gerakan yang dikehendaki. Lebih lanjut, kendaraan tersebut digerakkan oleh tenaga penggerak baik yang berupa tenaga pendorong maupun yang berupa tenaga penarik.

Untuk lebih jelasnya, masing-masing komponen dari Nusantara-21 yang disebutkan di atas akan kami jabarkan lebih lanjut pada uraian berikut:

• Infrastruktur Komunikasi beserta Regulasinya, komponen ini digambarkan sebagai jalan raya yang lebar yang merepresentasikan segala bentuk media komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi dijital di antara dua atau lebih pihak. Keterpaduan infrastruktur komunikasi dengan regulasinya merupakan aspek penting untuk menjamin keefektifan penggunaan segala bentuk media komunikasi dalam konteks Nusantara-21.

• Jaringan Informasi, komponen ini digambarkan dalam bentuk roda-roda kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk infrastruktur informasi yang memungkinkan pemanfaatan infrastruktur komunikasi oleh aplikasi secara efisien dan efektif. Banyaknya roda merepresentasikan berbagai macam jalur akses ke infrastruktur komunikasi yang tersedia.

• Basis Data Pengetahuan, komponen ini digambarkan sebagai lapisan di atas roda-roda kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk informasi yang telah dibangun secara sistematis dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan aplikasinya dan memenuhi standar mutu tertentu. Di samping itu, basis data pengetahuan ini menuntut pengelolaan yang seksama sehingga keabsahan kandungan datanya dapat dijamin. Basis data pengetahuan ini memegang posisi kunci dalam konteks Nusantara-21 karena ia akan menentukan nilai tambah setiap aplikasi yang akan dikembangkan nantinya.

• Aplikasi, komponen ini digambarkan sebagai lapisan yang berada di atas lapisan basis data pengetahuan. Keduanya, aplikasi dan basis data pengetahuan, membentuk bagian utama dari kendaraan yang akan membawa muatannya (masyarakat tradisional) ke tempat tujuannya (masyarakat berbasis pengetahuan). Keberadaannya yang di atas lapisan basis data pengetahuan merepresentasikan kebergantungannya pada pengetahuan, yang merupakan kunci persaingan global di masa depan.

• Sumber Daya Telematika, komponen ini digambarkan sebagai tenaga pendorong kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk sumber daya yang diperlukan untuk mengimplementasikan program-program Nusantara-21. Sumber daya ini mencakup sumber daya teknologi telekomunikasi dan informatika beserta sumber daya manusianya.

• Kebutuhan/Peluang, komponen ini digambarkan sebagai tenaga penarik kendaraan yang merepersentasikan segala bentuk kebutuhan masa depan atau peluang baru yang timbul pada era ekonomi digital di masa depan.

• Perangkat Hukum, adalah segala macam bentuk hukum yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan pengimplementasian Nusantara-21 sesuai dengan kebutuhan masyarakat nantinya.

Beberapa strategi umum yang di usulkan untuk Pengembangan Program-program Nusantara-21 diuraikan pada butir-butir berikut:

• Melibatkan lebih banyak peran aktor / pemain swasta / masyarakat sendiri dalam proses pembangunannya.

• Pemerintah lebih banyak bertindak sebagai lembaga yang mengatur lingkungan yang kondusif dan fleksibel untuk pembangunan tersebut.

• Mempromosikan mekanisme persaingan bebas.

• Menjamin keterbukaan akses yang universal bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dalam kalimat sederhana Nusantara-21 tidak di arahkan menjadi sebuah proyek besar / mercusuar pemerintah akan tetapi menjadi gerakan masyarakat, oleh masyarakat, dengan dana masyarakat, yang di arahkan & diberikan insentif melalui kebijakan & regulasi pemerintah.

Keberhasilan pencapaian visi ini sangat tergantung pada peran swasta dan masyarakat membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan. Kemampuan tersebut hanya mungkin di peroleh jika swasta dan masyarakat terdidik dan berpengetahuan tentang pembangunan infrastruktur dan pemanfaatannya untuk kepentingan mereka.


Strategi Sederhana & Praktis Yang Akan Workable di Lapangan

Secara sederhana, akan ada dua (2) hal yang akan sangat strategis dalam pencapaian visi, yaitu:

• Kemampuan akses ke dunia Internet, dunia informasi & pengetahuan.
• Tingkat kepandaian bangsa Indonesia, agar dapat membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan maupun memanfaatkannya secara maksimal.

Keduanya saling terkait sangat erat. Dalam tulisan ini, fokus akan di berikan kepada strategi sederhana untuk meningkatkan kemampuan akses bangsa ini ke dunia informasi & pengetahuan. Tentunya sebagai guru, penulis mempunyai strategi sendiri dalam meningkatkan kepandaian bangsa Indonesia, yaitu, menganut aliran copyleft & copywrong dan melepas semua tulisan yang ada secara gratis melalui Internet & CDROM selain berinteraksi secara intensif melalui berbagai mailing list di Internet untuk meningkatkan kepandaian bangsa Indonesia khususnya di bidang telematika.

Dari sisi akses ke jaringan, pernahkah membayangkan 20 juta (10%) bangsa Indonesia di Internet 2-3 tahun mendatang? Memang perkembangan pengguna Internet di Indonesia terjadi secara eksponensial seperti grafik di samping yang diperoleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Barangkali mirip sebuah khayalan membayangkan 10% - 20 juta bangsa Indonesia di Internet dalam waktu 2-3 tahun mendatang. Sebuah percepatan yang luar biasa, mungkin bukan sebuah angka yang dengan mudah dicapai - paling tidak jika mencapai setengah dari target yang diharapkan maka bukan mustahil kehidupan dunia cyber di Indonesia akan semakin menarik.

Untuk memperoleh jumlah massa yang besar maka secara logika sederhana fokus harus diberikan untuk memprioritaskan konsentrasi massa yang cukup besar untuk dapat di kaitkan secara mudah ke Internet. Pusat massa dunia informasi & pengetahuan yang terkait ke Internet secara instink tidak sulit untuk di identifikasi; mereka umumnya berada di:

• Pusat usaha / perdagangan / perkantoran - biasanya sudah teridentifikasi dengan adanya wartel-wartel di sekitar-nya.
• Lembaga Pendidikan.

Mengapa pusat massa ini yang kita pilih? Secara naruliah, segala sesuatu yang di pakai bersama seperti wartel & warnet akan memungkinkan akses dengan biaya murah bagi banyak orang tanpa perlu orang tersebut melakukan investasi yang cukup mahal perupa peralatan telepon, fax, komputer dll dan membayar abodemen. Bahkan bukan mustahil sebetulnya jika konsep sharing resources reducing cost ini di sosialisasikan sebetulnya biaya yang dibutuhkan untuk mengakses dunia informasi baik itu internet maupun telepon lokal, SLJJ & SLI sebetulnya hanya membutuhkan biaya Rp. 20-40.000 / bulan / orang untuk melakukan komunikasi sepuas-puasnya selama 24 jam / hari tanpa henti. Teknologi Internet sebetulnya sebuah teknologi sosialis & gotong royong yang pada akhirnya memungkinkan akses yang murah bagi banyak orang secara swadana & swadaya tanpa perlu berhutang kepada Bank Dunia, IMF, ADB sehingga tidak perlu menyusahkan anak cucu dikemudian hari.

Bagaimana mungkin 20 juta orang Indonesia terkait ke Internet? Mari kita lihat beberapa pusat massa yang saya pikir akan sangat potensial. Jika kita lihat kondisi hari ini maka jumlah wartel ada 150.000 wartel dengan potensial anggota Internet melalui wartel 3-6 juta orang; warnet 2000+ & berkembang sangat pesat dengan potensial jumlah anggota 400.000-800.000 orang; lembaga pendidikan tinggi 1300 buah dengan potensial pengguna 3-5 juta orang bahkan mungkin lebih; sekolah menengah kejuruan (SMK) 4000 sekolah dengan potensi jumlah pengguna 3-4 juta orang dan sekolah menengah umum (SMU) sekitar 10.000 buah dengan potensi jumlah pengguna 5-7 juta orang. Belum terhitung Pesantren, Mandrasah, SMP dan SD. Jika kita jumlahkan massa yang berada di pusat konsentrasi massa ini maka angka 20 juta orang bukanlah angka yang mustahil.

Berapa biaya yang mereka butuhkan untuk mengkaitkan diri ke Internet? Saya coba ambil beberapa contoh - di Universitas Parahyangan (UNPAR) Bandung perkiraan biaya per mahasiswa adalah Rp. 5000 / bulan / mahasiswa (bukan jam). SMKN 6 Jogyakarta memberlakukan Rp. 5000 / siswa / bulan untuk akses ke Internet. Di SMKN 1 Ciamis bahkan lebih ekstrim yaitu Rp. 1000 / bulan / siswa untuk e-mail. Teknik untuk menghemat biaya ini di jelaskan dalam buku “Teknologi Warung Internet” dan “Linux untuk Warung Internet” yang saya tulis & dapat di peroleh di banyak toko buku, bahkan sudah di bajak pula.

Jadi perhitungan kasar Rp. 20-40.000 / bulan / orang adalah angka yang sangat feasible untuk akses Internet. Proses pengintegrasian sepuluh persen (10%) bangsa Indonesia dalam waktu 2-3 tahun lagi bukanlah sesuatu yang mustahil, gilanya semua dapat dilakukan tanpa menggunakan utangan Bank Dunia, IMF atau ADB. Investasi dilakukan sendiri oleh rakyat, bermodalkan ilmu yang dimiliki dan keyakinan akan bisnis proses yang sustainable. Proses pemandaian rakyat menjadi kunci utamanya.

Konsekuensi sebuah proses pemandaian rakyat adalah aktifitas penulisan artikel, penulisan buku, seminar, workshop tentang teknologi informasi harus di giatkan. Kita cukup beruntung dengan adanya pembebasan ijin terbit media cetak yang sangat mendorong tersedianya banyak media bagi rakyat. Dalam dunia komputer / telematika kita mengenal banyak sekali majalah mulai dari infokomputer, mikrodata, neotek, pcplus, aha, telset belum berbagai rubrik teknologi informasi di koran-koran semuanya sangat membantu sekali proses edukasi bangsa khususnya dalam bidang telematika, yang pada akhirnya terjadi proses pembangunan bottom-up sustainable community based development di bidang telematika tanpa perlu utangan Bank Dunia, IMF maupun ADB sama sekali.

Minggu, 03 Januari 2010

Nusantara 21

Nusantara 21 (N21)

Tulisan mengenai Nusantara 21, Kerangka konseptual Nusantara-21 memfokuskan dirinya pada visi, misi dan strategi Nusantara-21 secara keseluruhan dalam perjalanan jangka panjang mentransformasikan rakyat Indonesia menjadi knowledge based society. Nusantara-21, sebagai satu kesatuan yang mencakup mulai dari infrastruktur informasi sampai dengan aplikasi, merupakan wahana yang digunakan untuk proses transformasi tersebut. Anggota Tim N21 memfokuskan Kerangka Konseptual Nusantara-21 terutama pada pengambil kebijakan untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi para pemain teknologi informasi untuk bergerak dan membangun rakyat Indonesia.

Download Dokumen : 1-n21_kerangka_konseptual-05-98.pdf